Posted on Leave a comment

KUBET – Oxycodone dalam Bantuan Gaza: Dimensi Baru Konflik yang Mengkhawatirkan

Oxycodone dalam Bantuan Gaza: Dimensi Baru Konflik yang Mengkhawatirkan

images info

Penemuan oxycodone, opioid (obat pereda nyeri) kuat yang memicu epidemi kecanduan di Amerika Serikat di antara paket bantuan untuk Gaza membuka babak baru yang mengkhawatirkan dalam konflik Israel dan Palestina. Di wilayah perang yang terisolasi dan dihuni jutaan orang dalam tekanan psikologis ekstrem, pasokan zat adiktif seperti ini menambah ancaman serius, bukan hanya luka akibat bom, tetapi juga risiko krisis ketergantungan massal yang dapat menghancurkan masa depan generasi muda Gaza.

Sebagai seorang dokter, saya melihat ini bukan sekadar distribusi obat biasa. Oxycodone adalah kandungan utama OxyContin, pereda nyeri berbasis opioid yang awalnya dirancang untuk pasien kanker atau nyeri kronis parah. Namun di tangan yang salah, atau jika dikonsumsi tanpa pengawasan medis ketat, oxycodone dapat menimbulkan ketergantungan hebat, memperlambat pernapasan, menyebabkan euforia berlebihan, hingga overdosis yang berujung kematian. Fakta ini bukan isapan jempol belaka, sejak 1999, krisis opioid di Amerika Serikat telah merenggut lebih dari 500.000 jiwa, menjadikan OxyContin simbol kegagalan kolosal industri farmasi, regulator, dan sistem kesehatan.

Ketika zat yang sama terdeteksi dalam bantuan kemanusiaan ke Gaza, meski motifnya belum jelas dan tuduhan kesengajaan belum terbukti, dunia kesehatan wajib bersuara lantang. Distribusi opioid di zona konflik, apa pun alasannya, berisiko memantik epidemi baru di tempat yang tidak memiliki kapasitas sama sekali untuk menanganinya.

Dari perspektif kesehatan publik, peredaran opioid tanpa kontrol medis di daerah konflik dapat memperburuk morbiditas dan mortalitas, memecah kohesi sosial, dan memicu instabilitas berkepanjangan. Ini diperkuat oleh teori Medical Colonialism, yang menjelaskan bagaimana kesehatan publik kerap dijadikan instrumen pengendalian populasi di wilayah konflik atau terjajah, menciptakan ketergantungan sebagai senjata yang efeknya lebih merusak daripada bom.

Secara geopolitik, temuan ini menyingkap rapuhnya jalur bantuan kemanusiaan yang rentan disusupi zat berbahaya, baik akibat kelalaian rantai distribusi maupun sebagai bagian dari strategi asimetris untuk melemahkan musuh. Gaza, dengan sistem kesehatan di ambang kolaps akibat blokade dan perang, sama sekali tidak memiliki kemampuan menangani epidemi opioid yang mendadak.

WHO menegaskan bahwa peredaran opioid tanpa pengawasan medis di zona konflik akan memperparah risiko kesehatan masyarakat. Ini bukan lagi sekadar persoalan kemanusiaan, melainkan ancaman serius yang menuntut respons cepat dan tegas dari komunitas internasional.

Sebagai negara asal epidemi opioid, Amerika Serikat memiliki tanggung jawab moral memastikan setiap bantuan ke zona konflik bebas dari zat adiktif yang bisa memperburuk keadaan. Di sisi lain, organisasi internasional harus segera merumuskan protokol audit ketat untuk jalur distribusi bantuan medis di zona perang, termasuk pengawasan laboratorium independen untuk mendeteksi kontaminasi atau penyisipan zat berbahaya.

Menutup mata pada potensi krisis opioid di Gaza sama saja membiarkan lahirnya bencana kesehatan baru yang lebih mematikan dari senjata. Bantuan kemanusiaan harus bersih dari zat adiktif, diaudit ketat, dan diawasi lembaga independen. Indonesia, dengan pengalaman diplomasi kemanusiaannya, mesti memimpin upaya internasional untuk memastikan setiap bantuan tidak menjadi senjata tersembunyi yang merusak generasi.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Artikel ini dibuat oleh Kawan GNFI dengan mematuhi aturan menulis di GNFI. Isi artikel ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis. Laporkan tulisan.

PW
AA

Tim Editor
arrow

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *