
“Saya mengajak teman-teman untuk mengumpulkan donasi, kita belikan itu sampai sekitar 20 HP (handphone) dengan paket data yang akhirnya didistribusikan,” jelas Waitatiri dikutip dari laman Media Keuangan LPDP.
Waitatiri merupakan salah satu penerima LPDP yang menginspirasi. Ia lulusan Harvard University, Amerika Serikat. Yang menarik, bukunya The Missing Colours yang menyuarakan penyintas bullying, dijadikan sebagai salah satu kurikulum di beberapa sekolah di Amerika Serikat.
Waitatiri adalah sosok perempuan yang berjiwa besar. Keinginannya untuk membantu pendidikan Indonesia sangat kuat. Apalagi, saat pandemi Covid-19, Waitatiri menyaksikan sendiri bagaimana ketimpangan pendidikan yang dirasakan oleh para siswa sangat nyata.
Ketimpangan terbesar saat itu ialah fasilitas dan akses internet yang tidak merata. Waitatiri bersama rekannya kemudian membuat program “Ponsel untuk Sekolah” dengan menggalang donasi dan memberikan 20 ponsel beserta paket data ke siswa-siswa yang membutuhkan.
Cerita Widianti Widjaya Teruskan Batik Oey Soe Tjoen, dari Terpaksa hingga Penuh Cinta
Tekad Waitatiri Membantu Pendidikan Indonesia
Langkah Waitatiri memberikan bantuan saat Covid ini menjadi titik tolaknya memperjuangkan pendidikan Indonesia.
Waitatiri tidak memiliki latar belakang pendidikan sama sekali. Ia bahkan tidak memiliki minat untuk mengajar. Perempuan lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia ini sebenarnya lebih tertarik dan mendalami bidang kreatif, seperti penulisan dan pemasaran. Akan tetapi, meskipun tidak memiliki keinginan untuk menjadi pengajar, Wai masih ingin berkontribusi di pendidikan lewat jalur relawan dan bantuan dalam bentuk lain.
Dari dedikasi dan tekad itu, ia kemudian memutuskan melanjutkan pendidikannya di Harvard School of Education jurusan Learning Design, Information and Technology lewat beasiswa LPDP.
Sawitri Khan, Ketika Dirundung karena Kulit Hitam Kini Justru Jadi Model Internasional
Lewat jurusan itu, Waitatiri ingin berperan dalam pendidikan di Indonesia, terkhusus lewat jalur informal. Di jurusan tersebut, ia banyak belajar tentang cara membuat pembelajaran secara lebih kreatif dan atraktif.
“Jadi kita bukan mendesain seperti membuat kurikulum, tapi kita mendesain bagaimana caranya pembelajaran itu dapat terjadi di media manapun, media buku, media TV, media permainan misalnya, atau kegiatan-kegiatan luar ruangan misalnya outbond,” jelas Wai.
Di Harvard, Waitatiri mengungkapkan, kehidupan dan pendidikan di Indonesia menjadi salah satu topik diskusi yang menarik. Banyak dari teman-temannya yang antusias saat Waitatiri bercerita tentang Indonesia.
“Kalau kita menceritakan tentang Indonesia, tentang cara belajar, tentang anak-anak di sini, mereka ternyata benar-benar memperhatikan,” imbuhnya.
Yulion Mirin, Siswa dari Papua yang Sisihkan Uang untuk Bantuan Pendidikan Papua
Pengalaman Dirundung Jadi Motivasi Keluarkan Buku
Semangat Waitatiri untuk pendidikan Indonesia ternyata tidak bisa dilepaskan dari pengalaman pahitnya. Saat masih sekolah, Waitatiri rupanya juga jadi salah satu korban perundungan. Ia bahkan harus menemukan caranya sendiri untuk menyembuhkan trauma-trauma yang dirasakan. Hal ini lah yang menjadi motivasi Waitatiri menulis buku.
Lewat bukunya, The Missing Colours, Waitatiri memberikan ruang bagi para penyintas untuk menyuarakan apa yang dirasakan. Buku tersebut diangkat dari kisah nyata dari korban-korban bullying yang ia kenal. Menariknya, buku ini juga memberi kesempatan para pelaku untuk mengungkapkan motivasi dari tindakannya.
“Saya mengambil cerita dari penyintas yang pernah menjadi korban dan juga menjadi pelaku,” terang Wai
Mengingat Lagi Angkie Yudistia, Perempuan Tuli dan Berprestasi yang Diangkat Jadi Stafsus Jokowi
Tujuan utama pembuatan buku ini adalah agar para penyintas tidak merasa sendirian. Karya ini juga diharapkan mampu membantu penyintas untuk melewati masa-masa traumanya melalui pengalaman yang konkret.
“Orang-orang di luar sana, anak-anak di luar sana banyak yang mungkin sampai dewasa masih membawa traumanya. Karena itu, saya ingin buku ini semacam menjadi cara untuk memberi tahu bahwa walaupun seseorang sudah pernah mendapat bullying, di masa depan mereka bisa kok balik lagi menjadi manusia yang bahagia dengan lingkungan yang baik,” lanjutnya.
Buku tersebut kemudian mendapat perhatian dari salah seorang dosen di Harvard. Dosen tersebut meminta agar buku Wai dijadikan sebagai bahan ajar.
Hingga pada April 2024, The Missing Colours resmi jadi salah satu kurikulum yang diterapkan di Harvard dan beberapa sekolah di Amerika Serikat.
Saat ini, Waitatiri tengah mengembangkan platform belajar Smartick Indonesia untuk anak umur 4-14 tahun bersama dengan beberapa alumni LPDP. Platform ini membahas soal literasi numerasi. Platform belajar ini dapat digunakan di manapun untuk mendukung kemampuan siswa, termasuk di rumah.
“Ini kan sifatnya platform ya, website gitu, jadi anak-anak belajar di rumah. Selain secara personal mereka berkembang, mereka juga bisa berpikir kritis, lebih percaya diri dengan kemampuannya sendiri dan dapat perform lebih baik di sekolah,” ungkap Wai.
Uti Nilam Sari, Sosok yang Jadi Pionir Medical Illustrator di Indonesa
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News