Posted on Leave a comment

KUBET – Serba Serbi Idulfitri: Dari Spiritual ke Status Sosial, hingga Pergeseran Tradisi

Serba Serbi Idulfitri: Dari Spiritual ke Status Sosial, hingga Pergeseran Tradisi

images info

Mengapa Lebaran tak lagi sekadar tentang kemenangan spiritual, tapi juga ajang pamer status dan kontestasi nilai?

Idulfitri secara harfiah berarti “kembali kepada kesucian”, sebuah momen yang seharusnya menjadi refleksi spiritual setelah sebulan berpuasa. Namun, dalam realitas masyarakat kontemporer, perayaan ini telah bertransformasi menjadi fenomena sosial-budaya yang kompleks.

Jika diamati secara saksama, berbagai praktik yang muncul saat Lebaran—mulai dari tradisi bersih-bersih rumah secara berlebihan, konsumsi yang tidak terkendali, hingga kontroversi penggunaan sound horeg dalam takbir keliling—semuanya menunjukkan bagaimana makna religius berkelindan dengan dinamika sosial budaya yang lebih luas.

Ucapan Mohon Maaf Saat Sungkeman Lebaran Menggunakan Bahasa Jawa Krama Halus

Ada fenomena-fenomena unik tiap tahunnya saat Idulfitri, yakni masyarakat yang totalitas mempersiapkan perayaan dengan membersihkan seisi rumah. Di platform X, warganet membagikan bagaimana tiap-tiap keluarga melakukan agenda beberes ini.

“Mau lebaran, mamaku nyapu genteng soalnya tamunya mau disuruh naik ke atap.” Atau “Mamaku nyuruh beresin gudang, soalnya tamunya mau disekap.”

Tentu fenomena ini bukan hanya sekadar formalitas dalam mempersiapkan tempat yang layak untuk menerima tamu, keluarga, atau tetangga. Ada makna yang terkandung lebih dari itu.

Untuk memahami fenomena Lebaran lebih mendalam, GNFI melakukan wawancara eksklusif dengan Akhmad Khairudin, M.Si. atau yang akrab disapa Adin Hysteria, seorang dosen Antropologi Universitas Diponegoro (Undip).

Madumongso, Kudapan Manis Asal Jawa Timur yang jadi Makanan Khas Lebaran

Idulfitri Kerap Didentikkan dengan Kemenangan, Siapa yang Menang?

Idulfitri dianggap kemenangan karena kita telah melewati Ramadan yang selama ini dianggap sebagai bulan untuk menahan hawa nafsu sehingga kita harus puasa. Itulah yang kita rayakan, kemenangan dalam menahan godaan hawa nafsu. Berlaku tidak menghamburkan makanan karena kita menahan diri siang hingga malam waktunya buka. Berlalunya Ramadan dianggap sebagai kemenangan umat atas perasaan bisa menahan hawa nafsu, itu makna Idulfitri secara umum di Indonesia.

Lantas Mengapa Pengeluaran Ekonomi Saat Idulfitri Lebih Banyak dari Biasanya?

Ada uang yang dihamburkan saat Idulfitri karena merupakan sebuah perayaan, pesta. Itu terjadi di mana-mana. Pesta, perayaan, identik dengan menghamburkan harta benda. Konteksnya mungkin tidak selalu dipahami sebagai pemborosan, tapi suatu wujud syukur karena kita diberi keberlimpahan.

Gaet Penumpang, Ini Iklan Mudik Lebaran oleh Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda

Di luar negeri mungkin berbeda, misalnya di Arab saat mengorbankan hewan pada Iduladha mungkin lebih meriah. Kalau di Amerika mungkin ada Thanksgiving. Saat perayaan itu, orang-orang pada pulang, pada mudik, makan kalkun atau segala macam. Itu berpesta.

Sebaliknya, itu juga tidak sekadar perayaan, tapi juga kadang-kadang dimaknai juga sebagai satu pembuktian status sosial. Makanya, ramai pinjaman iPhone, ramai pinjaman mobil untuk pulang kampung karena pulang juga itu pembuktian juga.

Perilaku menghambur-hamburkan atau perilaku boros itu tidak bisa dipahami hanya sekadar perilaku boros,  tapi itu adalah dimensi simbolik. Artinya, dengan menghamburkan kekayaan, masyarakat melihat bahwa sosok tertentu dianggap sudah mencapai satu status kekayaan tertentu. Nah, itu di dalam kebudayaan masyarakat juga ada dimana-mana, macam-macam tentunya cara orang menghabiskan atau menghambur-hamburkan uang.

Jadi, ini adalah satu dinamika yang terjadi sebagai kebudayaan kita di dunia, tidak hanya di Indonesia.

Kue Semprong, Kudapan Khas Lebaran Idulfitri yang Dipercaya Dibawa oleh Bangsa Portugis

Totalitas Mempersiapkan Perayaan hingga Menyapu Bersih Seisi Rumah, Mengapa Demikian?

Kita sering mendengar bahwa Idulfitri itu dari nol kembali ke nol, bahwa semua dosa sudah dihapus, semua kesalahan sudah dimaafkan, terus kita mulai dari nol. Itu identik juga dengan satu sikap yang mana bebersih atau memulai dari nol diartikan oleh masyarakat kita dengan perilaku menyucikan diri, beberes, dibikin tertib, ditata ulang, dan seterusnya.

Bagaimana pandangan Anda terhadap Pergeseran Tradisi Takbir Keliling dari Pawai Obor hingga Menggunakan Sound Horeg?

Sound horeg konon pertama kali muncul di Malang atau di Jawa Timur kemudian menyebar ke banyak kota. Tadinya itu hal yang baru, inovasi sebetulnya. Bahwa inovasi itu bisa diterima atau tidak, itu juga bergantung dari relasi-relasi kekuasaan yang ada di masyarakat itu sendiri.

Jurus Menghadapi Pertanyaan Kapan Nikah Saat Lebaran, Ada 2 Cara!

Fenomena perubahan kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari aktor-aktor masyarakat itu sendiri. Hal yang semula tabu bisa diterima, hal yang semula bisa diterima sekarang dianggap melenceng dari kepercayaan umum. Jadi di dalam value atau nilai itu selalu ada  kontestasi di dalam masyarakat.

Kalau kita menganggap apakah ini penyimpangan atau apakah ini inovasi, balik lagi di masing-masing masyarakat itu sendiri. Karena ada hal-hal yang kadang secara nalar maupun secara akal sehat tidak bisa diterima karena dampak-dampak negatifnya, tapi di dalam masyarakat itu sendiri bisa diterima karena mereka memenangkan kompetisi nilai itu.

Fakta bahwa orang-orang yang lemah jantung, atau bangunan-bangunan yang menggunakan kaca, jembatan-jembatan yang sempit malah dijebol karena tidak muat untuk sound horeg, itu kan dampak yang kita lihat secara kasat mata hari ini. Tapi apakah itu bisa diterima atau tidak?

Tapai Uli, Jajanan Tradisional Khas Betawi yang Disajikan saat Momen Lebaran Idulfitri

Berarti Sekarang Penggunaan Sound Horeg dan Takbir Disertai Musik DJ Dinggap Normal bagi Sebagian Masyarakat?

Sekali lagi itu bergantung dari nilai-nilai yang bergeser atau yang berubah dan berkembang di dalam masyarakat itu sendiri. Dinamikanya sangat tergantung dari relasi kuasa di antara para aktor yang berpengaruh itu.

Siapa aktornya? misalnya tokoh masyarakat, kepolisian, lurah, pendonor, atau preman, dan seterusnya. Itu kan stakeholder yang menduduki posisi-posisi penting di masyarakat. Ketika kontestasi itu dimenangkan oleh satu pihak yang bahkan tidak masuk akal sekalipun buat akal sehat kita, karena dinamika di dalam kebudayaan massa itu biasanya lebih akomodatif terhadap jumlah massa yang terbanyak daripada nilai-nilai luhur itu hal yang lain.

Tapi bahwa kontestasi itu terjadi, itulah yang akan menggeser apakah satu fenomena itu bisa dianggap sebagai satu kewajaran atau penyimpangan.     

Momen Lebaran Idulfitri 1988, Kepulauan Riau Ekspor Daun Kelapa hingga ke Singapura

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *