Posted on Leave a comment

KUBET – Konten TikTok Kita Viral, Tapi Branding Nasional Kita Tertinggal

Konten TikTok Kita Viral, Tapi Branding Nasional Kita Tertinggal

images info

Indonesia kembali menorehkan “prestasi” di panggung digital global: negara dengan pengguna TikTok terbanyak di dunia. Data Statista per Juli 2024 mencatat 157,6 juta pengguna aktif di Tanah Air. Angka ini diperkuat laporan We Are Social dan Meltwater yang menunjukkan Indonesia mendominasi dengan “indeks penggunaan” mencapai 184,95, jauh melampaui Amerika Serikat (132,76) dan Brasil (120,28). Fenomena ini menyiratkan bahwa TikTok telah merasuk begitu dalam ke sendi kehidupan digital masyarakat Indonesia; hampir setiap pemilik smartphone, terutama generasi muda, adalah pengguna aktifnya.

Namun, di balik gegap gempita dominasi kuantitatif ini, tersimpan sebuah pertanyaan yang patut direnungkan bersama: mengapa belum ada satu pun kreator konten TikTok asal Indonesia yang mampu menembus jajaran elite global dengan jumlah pengikut terbanyak? Laporan Statista per Januari 2025 masih menempatkan nama-nama seperti Khaby Lame, Charli D’Amelio, dan Bella Poarch di puncak. Dari Indonesia, hanya Willie Salim dan Ria Ricis yang berhasil masuk 50 besar versi Social Blade, masing-masing di peringkat 16 dan 37. Sebuah pencapaian, namun belum sepadan dengan masifnya jumlah pengguna domestik. (Maaf kalau data ini belum update).

Viral di Sini, Kok Nggak Sampai Sana?

Salah satu penjelasan paling kentara atas kesenjangan ini adalah karakteristik konten yang cenderung sangat berorientasi lokal. Banyak kreator Indonesia piawai meracik konten khas Nusantara, mengangkat tren yang spesifik pada wilayah tertentu, dan fasih menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah, dalam setiap unggahannya. Dikutip dari campaignindonesia.id, Mathilda Benedicta dari Indonesia Creators Economy menyoroti bahwa kekentalan nuansa domestik ini, meski efektif menggaet audiens lokal, menjadi tantangan tersendiri untuk diterima secara luas oleh audiens internasional.

May be an image of 2 people, map and text that says
Sumber: Instagram @seasia.stats

Di sisi lain, fokus pada pasar domestik merupakan strategi yang sepenuhnya baik, gak ada yg salah, sah sah saja, , mengingat besarnya potensi audiens dan daya beli di dalam negeri. Namun, Enda Nasution, seorang pengamat media sosial, mengingatkan bahwa pendekatan ini bisa menjadi bumerang bagi kreator yang berambisi mendunia. “Tantangan utama bagi kreator Indonesia adalah jebakan zona nyaman pasar lokal, yang acap kali menumpulkan ambisi untuk membidik panggung global,” ujarnya.

Modal Udah Ada, Tinggal Poles Mental dan Profesionalisme

Secara kualitas, konten yang dihasilkan kreator Indonesia sejatinya tidak kalah bersaing. Namun, Daity Octaviany dari Partipost Indonesia, masih dikutip dari campaignindonesia.id menggarisbawahi aspek karakter dan profesionalisme sebagai tantangan yang masih perlu diatasi. Ia mengamati adanya kecenderungan ‘star syndrome‘ pada sebagian kreator dan kurangnya keterbukaan untuk berkolaborasi secara profesional.

Padahal, kolaborasi, terutama lintas negara, merupakan salah satu akselerator tercepat menuju eksposur global. Inisiatif seperti TikTok Live Festival yang digagas Shine Management, yang mempertemukan kreator Asia Tenggara dengan kreator Eropa dan Amerika, adalah contoh konkret bagaimana kolaborasi mampu membuka pintu pasar internasional.

Gimana Caranya Biar Bisa Go International?

Untuk mampu bersaing di kancah global, kreator Indonesia perlu mulai merambah tema-tema yang lebih universal dan menggunakan bahasa yang lebih inklusif. Jika penguasaan bahasa Inggris secara penuh masih menjadi kendala, pemanfaatan fitur subtitle atau alat terjemahan otomatis bisa menjadi solusi jitu. Penggunaan musik latar yang sedang viral secara global dan tagar internasional juga terbukti efektif memperluas jangkauan konten.

Namun, lebih dari sekadar taktik teknis, yang paling fundamental adalah perubahan paradigma: menjadi kreator bukan hanya soal popularitas instan di dalam negeri, melainkan juga tentang mengemban peran sebagai duta budaya Indonesia di panggung digital dunia.

Kita telah menyaksikan bagaimana musik Korea (K-Pop) mengguncang industri global, atau bagaimana kuliner Thailand merajai konten mukbang dan travel vlog. Ini adalah bukti tak terbantahkan bahwa budaya populer mampu menjadi instrumen soft diplomacy yang luar biasa efektif.

TikTok Bisa Jadi Alat Promosi Indonesia

Dengan ratusan juta pengguna aktif media sosial, Indonesia sejatinya memiliki potensi dahsyat dalam membangun citra bangsa (national branding). Setiap individu, melalui konten yang diunggahnya, berpotensi menjadi “pemasar” atau marketer yang menyebarkan pesona budaya, keunikan gaya hidup, hingga kualitas produk lokal ke seluruh penjuru dunia. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika diiringi peningkatan kualitas konten secara kontinuyu dan kesadaran kolektif untuk bermain di level global.

Beberapa negara telah berhasil menjadikan budaya populer dan media sosial sebagai motor penggerak promosi nasional. Jepang dengan anime dan manga, India dengan Bollywood, Korea Selatan dengan K-Pop dan K-Drama, bahkan Kolombia yang citranya terangkat melalui serial populer seperti “Narcos” yang justru memicu lonjakan pariwisata.

Tak ketinggalan, negara-negara seperti Swedia yang sukses dengan kampanye “Curators of Sweden” di mana warga biasa secara bergantian mengelola akun Twitter resmi negara, menampilkan kehidupan sehari-hari dan menjawab pertanyaan dari seluruh dunia, memberikan sentuhan personal dan otentik pada citra negara. Begitu pula dengan Selandia Baru yang secara konsisten memanfaatkan keindahan alamnya melalui kampanye “100% Pure New Zealand” yang masif di media sosial, menarik minat wisatawan dan sineas film internasional.

Indonesia, dengan kekayaan budaya yang tak terhingga, memiliki modal yang jauh lebih besar. Bayangkan jika satu konten TikTok tentang keindahan tari Saman, cara pembuatan rendang yang kesohor itu, atau kemegahan Danau Kelimutu bisa viral dan memantik rasa penasaran jutaan pasang mata di luar negeri.  

Perlu diingat, national branding yang kuat berbanding lurus dengan kedatangan turis asing. Semakin positif citra suatu negara dikenal dunia, semakin besar pula potensi lonjakan kunjungan wisatawan, yang pada gilirannya akan menggerakkan roda perekonomian. Sayangnya, jika potensi ini tidak digarap secara strategis, kita akan terus tertinggal.

Sumber: Instagram @seasia.stats

info gambar

Data kunjungan wisatawan mancanegara terbaru tahun 2024 menjadi cermin yang ..cukup membuat sedih, sebenarnya. Indonesia hanya menempati peringkat kelima di Asia Tenggara dengan 13,9 juta turis. Kita telah disalip oleh Vietnam (17,6 juta), dan selisihnya kian melebar. Thailand dan Malaysia sudah lama berada di depan, dan bahkan Singapura, yang luasnya tak lebih dari separuh Kabupaten Gunungkidul, mampu mencatatkan 16,5 juta kunjungan. Ini adalah tanda bahaya bagi kita semua bahwa daya tarik Indonesia belum terkomunikasikan secara optimal di mata dunia. 

Peran pemerintah dalam promosi tentu ada batasnya. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, melalui kanal media sosial, misalnya, upaya ini tidak akan pernah maksimal. Kita memiliki ratusan juta akun media sosial aktif; para konten kreator handal,  sudahkah kita memanfaatkannya secara sadar untuk memperkenalkan wajah terbaik Indonesia kepada dunia?

Masih ada waktu..

Referensi:

Anholt, S. (2007). Competitive identity: The new brand management for nations, cities and regions. Palgrave Macmillan.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *