
“Saya lebih suka kerja bareng ibu-ibu, karena mereka mudah dibina dan diajak memahami. Kalau bapak-bapak suka bilang (saya) terlalu banyak teori—lebih banyak menentangnya. Padahal ya teori dan praktik dilakukan bersamaan,” tutur Sudarmi, dikutip dari Magdalene.
Sudarmi adalah ketua Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (HKm) Sedyo Rukun, Desa Banyusoco, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kelompok Tani HKm Sedyo Rukun ini telah berdiri sejak tahun 2000. Akan tetapi, izin pengelolaan hutan negara baru terbit pada tahun 2007 dengan masa pengelolaan 35 tahun di Hutan Paliyan.
Sebagai ketua, Sudarmi bertanggung jawab terhadap banyak aktivitas dan pengelolaan kawasan Hutan Paliyan milik negara seluas 17 hektar yang berada di wilayah Kapanewon Playen. Pengelolaan tersebut di antaranya penebangan dan distribusi kayu jati, menjual kayu bersertifikasi, menyediakan jasa penggergajian, serta melayani pesanan log hingga furnitur.
Tidak hanya itu, Sudarmi juga memimpin Koperasi Wana Manunggal Lestari (KWML), yang berperan memproduksi kayu dari hasil hutan. Koperasi ini turut berperan dalam membantu para petani HKm dan petani Tanaman Hutan Rakyat (THR), di sebagian daerah Gunungkidul.
Menjadi Manusia Jalawastu: Menghormati Leluhur, Menjaga Alam, dan Merawat Tradisi di Tengah Modernitas
Penghargaan Bagi Sudarmi
Menjadi pemimpin di sektor yang digambarkan dengan dunia lelaki tentu bukan hal mudah bagi Sudarmi. Banyak yang sangsi akan kemampuannya. Akan tetapi, Sudarmi mampu membuktikan bahwa dirinya pantas dan memiliki kapabilitas untuk memimpin dalam hal pengelolaan hutan.
Selama 11 tahun mengepalai pengelolaan hutan, Sudarmi dan kelompok yang dipimpinnya meraih sejumlah penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pada 2018, Kelompok HKm yang ia pimpin mendapatkan penghargaan juara III Wana Lestari Tingkat Nasional.
Satu tahun kemudian, Sudarmi mendapatkan penghargaan Tokoh Perhutanan Sosial dari (KLHK).
Kisah Nissa dan Ibang, Kawan Aktivis yang Jadi Pasangan Lalu Dirikan Pesantren Ekologis Ath-Thaariq
Hutan Jati Bukan Sekadar Komoditi
Sudarmi dan warga Banyusoco tahu betul, kayu jati bukan hanya sebagai komoditas. Kayu unggulan Indonesia ini, selain kualitasnya yang telah dikenal luas, juga memberikan kebermanfaatan di sektor lingkungan.
Seperti yang telah diketahui, Gunungkidul merupakan kabupaten di Yogyakarta yang dibentuk dari puluhan hingga ribuan bukit. Gunungkidul dikenal sebagi pegunungan seribu. Meskipun demikian, bukit-bukit tersebut merupakan bukit kapur atau karst.
Bentang alam ini mengakibatkan tanah di Gunungkidul lebih tandus dan kurang air permukaan. Oleh karena itu, kawasan ini rentan terhadap fenomena kekeringan.
Mama Sariat Tole: Pelestari Seni Tenun Ikat Alor yang Mendunia
Dengan kondisi alam demikian, masyarakat Banyusoco memanfaatkan pohon jati sebagai pengikat air, seperti pohon pada umumnya. Apalagi, lokasi mata air di Sungai Oyo berjarak hanya 500 meter dari hutan jati sehingga fungsi pohon dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, penebangan pohon jati dilakukan berkala dan diatur sedemikian rupa.
“Hutan jati juga mendukung keberadaan sumber mata air,” jelas Sudarmi.
Selain itu, keberadaan hutan jati juga digunakan sebagai “tempat bernaung” bagi tanaman lain. Masyarakat desa Banyusoco menanam palawija di sekitar tegakan pohon jati.
Hasilnya, palawija dapat diolah dan dijual dalam bentuk produk minuman, seperti jamu, gula kunir, jahe kristal, wedang uwuh, hingga aneka camilan dari umbi garut dan olahan pisang.
“Kalau jati itukan panennya lama, jadi untuk meningkatkan perekonomian kelompok kita juga membudidayakan tanaman obat,” jelas Sudarmi, dikutip dari Sorot.co.
Pohon jati memang unik. Sudarmi mengatakan, meskipun usia panennya lama, pohon jati dapat dimanfaatkan bahkan sejak berumur lima tahun. Sudarmi dan kelompoknya memanfaatkan daun jati sebagai motif batik ecoprint. Tidak hanya itu, daun jati kering juga bisa laku dijual.
Melihat Peluang Budi Daya Cacing dari Sosok Lilis: Hadirkan Cacing Kering dan Bubuk Cacing
“Salah satunya kalau daun jatuh di tanah jadi serasah, itu laku dijual,” jelasnya.
Daun pohon jati juga menjadi tempat kupu-kupu bermetamorfosis. Di sanalah warga Banyusoco biasanya mencari kepompong.
“Ada juga orang yang nyari kepompong, dari ulat yang nempel di daun kayu jati. Kalau dijual, satu kilogram harganya Rp100 ribu,” imbuhnya.
Endang Rohjiani, Aktivis Lingkungan dari Yogyakarta yang Perjuangkan Ekosistem Sungai Winongo
Tiga Kali Panen Pohon Jati
Pohon jati di Hutan Paliyan tercatat telah dipanen tiga kali berturut-turut, yakni 2019, 2020, dan 2021. Hasil penjualan tersebut bisa mencapai Rp400 juta per 300 meter kubik.
Dari hasil tersebut, terlebih dahulu disimpan 50% untuk biaya operasional. Sisanya, baru dibagikan kepada anggota Kelompok Tani HKm Sedyo Rukun.
Sebagaimana dilansir dari Mongabay, panen kayu pada 2021 dilakukan di lahan seluas 4,5 hektar. Ada sekitar 2.736 batang pohon yang ditebang. Meski demikian, pemanenan berikutnya baru akan dilakukan 10 hingga 15 tahun lagi.
Lewat periodisasi hutan jati, Sudarmi dan warga Banyusoco tidak hanya memanfaatkan hutan kayu untuk kehidupan mereka. Mereka juga mempersembahkan kelestarian hutan untuk anak cucu nantinya.
“Yang namanya hutan, apa yang ditanam di tahun ini belum tentu kita yang bakal memanennya. Misalnya jati, jangka waktunya puluhan tahun. Kita tidak tahu umur kita sampai di mana, jadi itu untuk anak cucu kita,” tegasnya.
Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News