
Masyarakat adat Jalawastu, yang terletak di Desa Cisereuh, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, adalah komunitas penutur bahasa Sunda yang hidup dalam harmoni antara tradisi leluhur, nilai-nilai Islam, dan pelestarian alam.
Kehidupan mereka di kaki Gunung Kumbang tidak hanya sekadar bertahan dari zaman, tetapi juga menjadi contoh nyata bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan alam dan budaya.
Dilansir National Geographic Indonesia, salah satu tradisi yang paling menonjol adalah upacara adat Ngasa, sebuah ritual yang melambangkan penghormatan kepada leluhur dan alam. Upacara ini melibatkan persembahan hasil bumi, seperti buah, sayuran, dan nasi jagung. Menariknya, tradisi ini tidak melibatkan daging atau hewan karena kawasan Pasarean Gedong, tempat upacara dilakukan, dianggap suci dan tidak boleh ada makhluk bernyawa yang dilukai.
Kisah Nissa dan Ibang, Kawan Aktivis yang Jadi Pasangan Lalu Dirikan Pesantren Ekologis Ath-Thaariq
Ngasa: Ritual yang Menyatukan Manusia, Alam, dan Leluhur
Ngasa, yang berarti “istirahat” atau “berdoa”, bukan sekadar ritual tahunan, tetapi juga refleksi dari cara hidup masyarakat Jalawastu.
Dilansir Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Brebes, upacara adat ini digelar setiap Selasa Kliwon pada Mangsa Kesanga (bulan kesembilan dalam penanggalan Jawa) dan telah dikenal hingga tingkat nasional.
Ngasa pertama kali dilaksanakan pada masa pemerintahan Bupati Brebes IX, Raden Arya Candra Negara, sebagai bentuk rasa syukur kepada Batara Windu Buana, yang dianggap sebagai pencipta alam. Batara Windu Buana memiliki ajudan bernama Burian Panutus, yang konon semasa hidupnya tidak pernah makan nasi atau lauk pauk dari makhluk bernyawa. Hal ini lah yang menjadi salah satu musabab Ngasa tidak menghidangkan hewan.
Uniknya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut hingga Dianggap Kafir karena Didatangi Pemuka Agama Lain
Menurut Ki Dastam, penasehat adat Jalawastu, dalam wawancaranya dengan National Geographic Indonesia, Ngasa adalah bentuk doa kepada Allah untuk memohon kemakmuran sekaligus ungkapan syukur atas hasil bumi. Dalam ritual ini, warga bersedekah dengan menghidangkan nasi jagung dan berbagai hasil bumi lainnya yang berasal dari lingkungan mereka sendiri.
Ngasa juga dikenal sebagai sedekah gunung, sebuah tradisi yang mencerminkan pentingnya gunung dalam keyakinan masyarakat agraris. Bagi masyarakat Jalawastu, yang tinggal di kaki Gunung Kumbang, gunung bukan hanya sekadar bentang alam, tetapi juga simbol spiritual yang melambangkan kehidupan dan sumber penghidupan.
Tradisi ini menggambarkan bagaimana manusia Jalawastu memandang dirinya sebagai bagian dari alam, bukan penguasa alam. Mereka percaya bahwa kepatuhan pada leluhur akan membawa kebaikan, sehingga setiap kebaruan yang masuk ke kampung harus melalui proses meminta petunjuk leluhur terlebih dahulu.
Mengenal Pecalang, Garda Terdepan Penjaga Keamanan Desa Adat di Bali
Islam dan Tradisi Leluhur: Penyatuan Dua Kutub
Meskipun masyarakat Jalawastu kini menganut Islam, mereka tetap mempertahankan warisan leluhur.
Sejarah mencatat bahwa Islam masuk ke Jalawastu melalui pengaruh Kesultanan Cirebon. Proses islamisasi ini tidak menghapus tradisi lama, melainkan mengintegrasikannya dengan nilai-nilai Islam.
Misalnya, tari centong, yang mengabadikan pertarungan antara dua tokoh adat, Gandasari dan Gandawangi, tentang penerimaan Islam, tetap dilestarikan sebagai bagian dari upacara Ngasa.
“Kami Islam sedari awal, tapi kita tetap menjalankan tradisi yang diperintahkan leluhur kami,” kata Singgih, Ketua Adat Jalawastu dalam wawancaranya bersama National Geographic Indonesia.
Mama Sariat Tole: Pelestari Seni Tenun Ikat Alor yang Mendunia
Warisan Budaya Tak Benda: Pengakuan atas Kearifan Lokal
Pada Oktober 2024, Jalawastu dinobatkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Penghargaan ini diberikan karena tradisi Ngasa dianggap sebagai ritus adat yang unik dan sarat makna.
Budayawan dan sejarawan Brebes, Wijanarto, menjelaskan bahwa tradisi Ngasa juga dikenal sebagai Sedekah Gunung, yang bertujuan untuk memohon kelancaran dan keberkahan dalam kehidupan. “Ngasa adalah bentuk sedekah yang diajarkan leluhur untuk menjaga keseimbangan antara manusia dan alam,” ujar Wijanarto kepada NU Online.
Apa Itu Balai Ternak? Strategi Baru Baznas Salurkan Zakat yang Lebih Produktif
Pantangan dan Kearifan Lingkungan: Menjaga Alam dengan Aturan Adat
Masyarakat Jalawastu memiliki sejumlah pantangan (pamali) yang berkaitan dengan pelestarian alam dan penghormatan kepada leluhur. Misalnya, mereka dilarang membangun rumah menggunakan semen atau genteng, karena dianggap merusak alam. Pantangan ini muncul setelah terjadi bencana longsor yang diyakini sebagai peringatan dari leluhur.
Selain itu, masyarakat juga tidak boleh menebang pohon sembarangan atau menggelar pertunjukan wayang karena dianggap dapat menimbulkan konflik sosial.
“Pantangan ini bukan tentang larangan, tetapi tentang menjaga harmoni,” jelas Ki Dastam, salah satu tokoh adat Jalawastu.
Pengetahuan Pengobatan Tradisional Masyarakat Adat yang Tersimpan Rapi di Dalam Hutan
Hutan Adat: Ruang Hidup yang Disucikan
Hutan adat Jalawastu seluas 64,8 hektare menjadi bukti komitmen masyarakat dalam menjaga kelestarian alam. Hutan ini hanya boleh dimasuki dengan izin juru kunci, dan pohon-pohon di dalamnya tidak boleh ditebang kecuali untuk keperluan mendesak seperti membangun rumah.
Bahkan, ranting yang jatuh dibiarkan dimakan rayap sebagai bentuk penghormatan terhadap kehidupan.
“Hutan adalah warisan leluhur yang harus dijaga untuk generasi mendatang,” tutur Sutisna, pengurus bidang hutan adat Jalawastu.
Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul
Menjadi Manusia Jalawastu di Tengah Modernitas
Kehidupan masyarakat Jalawastu adalah contoh nyata bagaimana manusia dapat hidup selaras dengan alam dan budaya, bahkan di tengah gempuran modernitas. Mereka tidak menolak perubahan, tetapi memilih untuk mengintegrasikannya dengan nilai-nilai leluhur.
Seperti kata Daryono, juru kunci adat Jalawastu, “Kepatuhan pada leluhur adalah dengan menjalankan perintahnya yang diatur oleh leluhur. Leluhur pasti memberi yang terbaik.”
Dengan cara ini, manusia Jalawastu tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga merawat identitas mereka sebagai bagian dari alam dan sejarah.
Suku Duano, Penjaga Laut di Pesisir Sumatra yang Justru Terancam Air Laut
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News