
Muhammadiyah tidak pernah menempatkan lembaga pendidikannya sebagai instrumen bisnis, melainkan sebagai bentuk pelayanan publik. Demikian kalimat yang diungkapkan secara tegas oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir.
Ia menampik stigma yang kerap melekat bahwa sekolah swasta adalah ladang bisnis. Sekali lagi, Haedar Nashir menegaskan, bagi Muhammadiyah pendidikan adalah bentuk pelayanan umat, sebagaimana tiga pilar yang dijunjung tinggi oleh Muhammadiyah, yakni penguatan di bidang Pendidikan, Kesehatan, dan Ekonomi umat.
Untuk itu, ia mengatakan jika ada institusi pendidikan swasta yang berorientasi bisnis, seharusnya tidak lantas menjadi keputusan konstitusi. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pendidikan gratis oleh sekolah negeri maupun swasta tidak dapat diberlakukan kepada seluruh yayasan swasta dan perlu dikaji ulang secara lebih cermat, teliti, dan komprehensif.
“Implementasi dari (putusan) MK itu harus saksama, komprehensif, dan tetap berpijak pada realitas dunia pendidikan Indonesia, dimana swasta punya peran strategis,” ungkap Haedar Nashir.
KDM Perintahkan Jam Sekolah Dimulai Pukul 06.00: Efektifkah untuk Pendidikan Jawa Barat?
Mampukah Pemerintah Menanggung Biaya Sekolah Swasta?
Lebih lanjut, Haedar Nashir mempertanyakan kemampuan pemerintah untuk menanggung seluruh biaya lembaga pendidikan swasta.
Sebab, ia khawatir jika penerapan biaya pendidikan gratis di sekolah swasta akan mengurangi kualitas pengajaran dan fasilitas yang selama ini ditawarkan.
“Apakah Kemendikti dan Kemendikdasmen diberi anggaran yang cukup untuk menanggung seluruh lembaga pendidikan swasta? Sementara swasta juga punya sifat inner dynamics, selalu ingin berkembang. Jangan sampai mematikan swasta, yang justru sama dengan mematikan pendidikan nasional,” tegasnya.
Potret Kesehatan di Kepulauan Seribu: Anak Sekolah Rentan Masalah Mata, Kolaborasi Astra-Perdami Hadirkan Solusi
Dua Opsi yang Dapat Pemerintah Terapkan Agar Pendidikan Swasta Terjangkau
Lebih dari 1 abad berkhidmat pada pendidikan, Haedar Nashir mengatakan, ada dua pendekatan yang dapat dilakukan agar pendidikan swasta dapat dijangkau oleh masyarakat.
Pertama, sekolah swasta tetap menyelenggarakan layanan publik bagi masyarakat umum. Artinya, pendidikan swasta tidak lagi bersifat eksklusif.
Kedua, kalaupun ada yayasan swasta yang bersifat eksklusif atau unggulan, negara perlu memberi ruang bagi sekolah untuk tetap berkembang. Keberadaan sekolah swasta unggulan ini juga menjawab kebutuhan khusus sebagian masyarakat.
“Yang umum terlayani, yang khusus terlayani, itu opsinya,” imbuhnya.
Mengintip Cara Menumbuhkan Jiwa Kompetisi yang Sehat pada Siswa di Sekolah Cikal
Rencana Sekolah Swasta Gratis Demi Pemerataan Pendidikan
Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang berbunyi “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dinilai multitafsir.
Penafsiran pada frasa tersebut selama ini mengakibatkan pendidikan gratis hanya diberlakukan di sekolah-sekolah negeri milik pemerintah. Sedangkan, sekolah milik masyarakat atau swasta memberlakukan pembiayaan dengan skema swadaya atau dari peserta didik.
Menurut Mahkamah Konstitusi (MK), kondisi tersebut membuat ketimpangan pendidikan semakin nyata. Sebab, terbatasnya kuota di sekolah negeri memaksa masyarakat menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan swasta yang disertai dengan ketentuan biaya.
Yulion Mirin, Siswa dari Papua yang Sisihkan Uang untuk Bantuan Pendidikan Papua
Dalam kondisi tersebut, negara tetap memiliki kewajiban konstitusional untuk memastikan bahwa tidak ada peserta didik yang terhambat memperoleh pendidikan dasar disebabkan oleh faktor ekonomi dan keterbatasan sarana pendidikan dasar.
Oleh karena itu, dalam Amar Putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024, MK mengubah norma frasa menjadi, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.”
Meski demikian, MK sebagaimana dilansir dari laman resminya mengatakan bahwa sekolah/madrasah swasta tidak sepenuhnya dilarang melakukan pembiayaan sendiri penyelenggaraan pendidikan yang berasal dari peserta didik atau sumber lain. Asalkan, sumber pembiayaan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Perbedaan Nilai Pendidikan Karakter yang Ditanamkan Orang Tua Banjar, Tionghoa, dan Madura: Ini Temuan Prof. Nuril Huda
Sebab, MK menilai tidak rasional jika sekolah swasta dipaksakan untuk tidak lagi mengenakan biaya penyelenggaraan pendidikan dari peserta didik.
Hal ini disebabkan oleh kemampuan fiskal (anggaran) pemerintah untuk memberikan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan dasar bagi satuan pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (sekolah/madrasah swasta) yang berasal dari APBN dan APBD, masih terbatas.
Ini Perbedaan PMM, Ruang GTK, dan Rumah Pendidikan bagi Guru
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News