
Dulu, kalau berbicara tentang soft power Indonesia di mata dunia, jawabannya nyaris selalu itu-itu saja: batik yang anggun, Bali yang memesona, rendang yang mendunia. Ketiganya memang kebanggaan bangsa yang tak terbantahkan. Namun, dunia terus berubah—dan begitu pula cara Indonesia memperkenalkan dirinya ke panggung global.
Hari ini, daftar senjata soft power kita kian berwarna. Tambahkan di dalamnya deretan lagu-lagu Indonesia yang viral di Spotify Global, tantangan dance yang menggema di TikTok, hingga konser band-band Tanah Air yang justru dipadati oleh penonton lintas negara, dari Kuala Lumpur hingga Singapura.
Musik Indonesia tengah memasuki babak baru. Ia tak lagi sekadar produk hiburan domestik, melainkan perlahan namun pasti menjelma menjadi salah satu instrumen soft power paling efektif Indonesia di era digital, tanpa bantuang pemerintah, tanpa protokol diplomasi resmi. Fenomena ini justru lahir secara organik dari ekosistem yang unik: kombinasi antara kreativitas musisi Indonesia yang makin matang, dorongan algoritma platform teknologi global, dan energi komunitas penggemar lintas negara yang haus akan suara-suara baru dari Asia Tenggara.
Hal ini sangat sejalan dengan konsep cultural diplomacy masa kini. Menurut Rasmussen (2014) dalam jurnal Cultural Diplomacy and the Role of Music in Promoting International Understanding, kekuatan diplomasi budaya justru makin efektif ketika berangkat dari inisiatif non-negara, tumbuh dari akar rumput, dan didorong oleh keterikatan emosional yang murni. Musik, dengan kemampuannya menyentuh emosi tanpa batas bahasa, kini menjadi medium yang sangat ampuh untuk menghadirkan wajah Indonesia yang segar, kreatif, dan relevan di mata dunia.
Satu Lagu, Satu Tonggak Global
Contoh terbaru yang memukau datang dari Fourtwnty dan Charita Utami. Lagu mereka, Mangu, belum lama ini mencetak sejarah sebagai lagu Indonesia pertama yang berhasil menembus Top 10 Spotify Global. Ini bukan sekadar pencapaian personal bagi Fourtwnty, melainkan tonggak baru bagi posisi musik Indonesia di panggung global.
Sebelumnya, posisi tinggi juga sempat dicapai oleh NIKI, penyanyi asal Indonesia yang juga tengah bersinar di kancah internasional. Lewat lagu You’ll Be In My Heart, NIKI sempat menembus posisi #20 di Spotify Global. Lagu tersebut kini telah diputar hampir 200 juta kali, menjadikannya musisi Indonesia pertama yang masuk jajaran Top 20 Global Spotify. Sejak bergabung dengan 88rising, NIKI mencatat lebih dari 4,4 miliar streams di Spotify—tertinggi sepanjang sejarah bagi musisi Indonesia. Dengan lirik yang kuat dan emosional, NIKI menjadi contoh nyata bahwa musik Indonesia bisa diterima di panggung global, bahkan di pasar Barat yang sangat kompetitif.
Kini Fourtwnty berhasil melompat ke posisi 10 besar, mempertegas bahwa peluang musik Indonesia bersaing di peta global semakin nyata.
Bintang Baru, Panggung Global
Fenomena kesuksesan lintas batas ini makin diperkuat oleh generasi baru musisi Indonesia. Selain NIKI yang telah membuka jalan lewat karya berbahasa Inggris, muncul pula no na, girl group besutan 88rising.
Hanya dalam sebulan setelah debut, no na telah mengumpulkan 1,4 juta pendengar bulanan di Spotify, angka luar biasa untuk pendatang baru. Single perdana mereka, shoot, berhasil menembus Top 3 Spotify Korea Selatan, salah satu pasar musik paling kompetitif di dunia. Fenomena viral di TikTok ikut memperkuat jejak mereka, apalagi saat tantangan dance lagu ini diikuti oleh Rei dari grup K-pop terkenal IVE.
Kesuksesan NIKI dan no na bersama-sama menggambarkan bahwa musik Indonesia kini hadir dalam berbagai format dan genre. Menariknya, menurut studi oleh Kim & Lee (2022) dalam International Journal of Communication, musisi Asia Tenggara makin sukses berkat strategi kolaborasi lintas batas dan pemanfaatan platform streaming yang memungkinkan lagu-lagu lokal menembus audiens global.
Dari Masa Kejayaan ke Era Digital: Evolusi Pengaruh Musik Indonesia
Fenomena ini bukan hal baru, melainkan kelanjutan dari fondasi yang dibangun sejak dua dekade lalu. Awal 2000-an, band-band Indonesia seperti Sheila on 7, Peterpan, Dewa 19, Ungu sangat dikenal di negara-negara tetangga. Lagu mereka mengisi tangga lagu radio di Malaysia, Brunei, Singapura, bahkan Thailand. Penjualan CD dan kaset mereka kala itu menembus angka tinggi di kawasan tersebut.
Kini, meski hype era fisik itu tak sebesar dulu, teknologi seperti Spotify, YouTube, Instagram Reels, dan TikTok justru membuka jalan baru. Lagu-lagu dari musisi baru Indonesia kini bisa dengan mudah muncul di playlist pengguna Malaysia, Singapura, Filipina, bahkan Thailand. Ini memperkuat temuan Global Music Report (IFPI, 2023) yang mencatat bahwa Asia Tenggara merupakan kawasan dengan pertumbuhan pendengar musik streaming tercepat di dunia, sebuah peluang besar bagi musik Indonesia.
Konser-Konser sebagai Magnet Wisata
Selain rekaman, pengaruh ini makin nyata lewat gelaran konser dan festival musik yang kini menjadi magnet wisata mancanegara. Acara seperti Djakarta Warehouse Project (DWP), Konser Dewa 19, Konser Sheila on 7, Java Jazz Festival, Pesta Pora, hingga We The Fest secara rutin menghadirkan ribuan penonton asing.
Sebagai contoh, edisi terakhir DWP sebelum pandemi mencatat bahwa lebih dari 40% penontonnya berasal dari luar negeri, terutama dari kawasan Asia Tenggara. Java Jazz Festival pun menjadi destinasi wajib bagi penggemar jazz dari Malaysia, Jepang, Korea Selatan, bahkan Eropa. Festival-festival ini berkontribusi besar pada music tourism—salah satu subsektor pariwisata budaya yang paling berkembang pesat, menurut UNESCO.
Resonansi Regional yang Berlanjut
Fenomena cross-border fandom ini juga makin terasa di band-band seperti Dewa 19, Sheila on 7, Hindia, dan .Feast. Konser mereka di Jakarta atau Bandung selalu didatangi penggemar yang datang jauh-jauh dari Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Di masa jayanya, Sheila on 7, misalnya, bahkan secara organik telah menjadi semacam “duta budaya” bagi Yogyakarta. Mereka membangun citra Jogja sebagai kota yang otentik dan hangat. Banyak wisatawan mancanegara yang datang ke Jogja karena rasa cinta mereka pada Sheila on 7—dan setelah itu, menjelajah destinasi lain di Indonesia.
Fenomena ini menguatkan temuan Rasmussen (2014) bahwa musik membangun emotional proximity antar bangsa jauh lebih efektif dibanding kampanye diplomasi yang bersifat formal.
Musik sebagai Branding Bangsa
Negara-negara lain telah lama memanfaatkan musik sebagai ujung tombak strategi branding nasional mereka—dan sebagian di antaranya melakukannya dengan sangat sistematis. Tidak ada yang bisa menandingi dominasi global budaya populer Amerika Serikat, terutama sepanjang abad ke-20 hingga awal abad ke-21.
Lewat jazz, blues, rock ‘n roll, hip-hop, pop mainstream, hingga ekosistem Hollywood, AS selama puluhan tahun hampir tidak memiliki kompetitor dalam hal ekspor budaya. Lagu-lagu dari Elvis Presley, Michael Jackson, Madonna, Guns N Roses, hingga Beyoncé dan Taylor Swift telah menjadi bagian dari lanskap budaya global. Menurut UNESCO, hampir 40% lagu yang diputar di radio dunia sepanjang dekade 1980–2000 berasal dari artis AS. Dominasi ini juga diperkuat oleh kekuatan industri media dan distribusi global yang berbasis di AS.
Di era yang lebih baru, Korea Selatan mungkin adalah contoh paling mencolok bagaimana strategi soft power lewat musik bisa dibangun secara terencana. Pemerintah Korea sejak akhir 1990-an memang secara aktif mendorong ekspor budaya lewat program Korean Wave (Hallyu). Lewat kolaborasi pemerintah, industri kreatif, dan perusahaan teknologi, K-pop berhasil menciptakan ekosistem yang bukan hanya menjual musik, tapi juga gaya hidup, bahasa, hingga produk konsumsi.
Grup seperti BTS, Blackpink, EXO, hingga NewJeans bukan hanya menjadi superstar musik, melainkan ikon global yang memengaruhi tren fashion, kecantikan, hingga destinasi wisata. Pada 2021, nilai ekspor budaya Korea tercatat mencapai US$12 miliar, dengan K-pop menjadi salah satu kontributor terbesar (Korea Foundation, 2022).
Jepang, meskipun dengan strategi yang berbeda, telah lama membangun soft power lewat kekuatan budaya populer. J-pop, meski tidak seagresif K-pop secara internasional, tetap memiliki pengaruh besar terutama di Asia. Lebih jauh lagi, kekuatan Jepang terletak pada integrasi musik dengan anime, game, dan budaya otaku yang telah mendunia.
Soundtrack anime legendaris seperti Neon Genesis Evangelion, Naruto, One Piece, hingga franchise Final Fantasy telah menciptakan fanbase global yang sangat loyal. Jepang juga berhasil memasarkan musisi seperti Utada Hikaru, X Japan, Babymetal, dan One Ok Rock ke pasar internasional, meski dengan pendekatan yang cenderung berbasis niche dan komunitas.
Dari ketiga contoh ini terlihat jelas: musik bukan hanya produk budaya, melainkan instrumen branding nasional yang sangat kuat. Amerika pernah menguasai dunia lewat soundtrack of America. Korea kini menunjukkan bagaimana K-pop bisa menjadi tulang punggung cultural diplomacy. Jepang mengajarkan bahwa kekuatan ekosistem budaya lintas media bisa memperkuat musik sebagai kanal pengaruh global.
Kini, Indonesia punya peluang besar untuk mengikuti jejak tersebut—dengan gayanya sendiri. Gelombang baru yang dipimpin oleh Fourtwnty, NIKI, Hindia, no na, dan banyak musisi lainnya menunjukkan bahwa musik Indonesia siap menjadi duta budaya global berikutnya. Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian, kolaborasi lintas sektor, dan strategi jangka panjang untuk memastikan momentum ini tidak hanya sesaat—melainkan benar-benar menjadi kekuatan baru soft power Indonesia.
Dengan ekosistem yang makin dewasa, kolaborasi internasional yang makin berani, dan pemanfaatan teknologi yang makin optimal, musik Indonesia punya peluang besar menjadi duta budaya global.
Lewat Fourtwnty, NIKI, Hindia, no na, Sheila on 7, dan banyak musisi lainnya, kita sudah punya bukti bahwa dunia siap mendengarkan Indonesia.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News