
Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, KabupatenTegal, Jawa Tengah terkenal sebagai kampung para pemilik rumah makan. Rumah makan yang dikenal dengan nama Warung Tegal (Warteg) ini menjadi sumber penghasilan utama warganya.
Karena bisnis ini, orang-orang di kampung tersebut mampu membangun rumah-rumah mewah. Memang benar, rumah-rumah megah dan mewah itu sebagian besar milik pengusaha warung tegal (Warteg).
Dimuat dari Liputan6, beberapa rumah di antaranya kosong tanpa penghuni karena banyak yang masih merantau. Beberapa dari mereka pergi ke Jabodetabek hingga luar Pulau Jawa.
“Ya memang di sini hampir sebagian besar warganya punya usaha warteg di Jakarta. Mereka meninggalkan rumahnya untuk merantau di sana mencari rezeki. Alhamdullilah, banyak yang sukses,” kata salah seorang pria yang tak mau disebutkan namanya.
Dia menjelaskan para pemilik rumah biasanya tak mau memamerkan diri. Mereka enggan membicarakan terkait kesuksesan yang diraih pemilik usaha warteg yang berdagang di perantauan.
“Memang begitu warga sini. Pokoknya yang berada di perantauan dan hasilnya keliatan di kampung ya lebih baik jangan sampai terlihat terlalu mencolok. Apalagi yang punya usaha warteg. Katanya nanti mempengaruhi sewa warung di sana (Jakarta) menjadi mahal,” tutur dia.
90 persen berprofesi pengusaha warteg
Ketua Ikatan Pengusaha Warteg Tegal, Asmawi membenarkan hampir 90 persen warga Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna berprofesi sebagai pengusaha warteg. Biasanya tersebar di wilayah Jabodetabek
“Sekitar 1.000 ribu warga di sana memang hampir 90 persen diantaranya punya usaha warteg yang tersebar di wilayah Jabodetabek,” ucap Asmawi.
Asmawi menjelaskan bukan hanya dari KabupatenTegal, warga yang menekuni usaha warteg juga berasal dari Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal.
“Warga Kota Tegal juga banyak yang merantau dan usaha warteg di sana. Khususnya warga di Tegal Selatan, hampir 30-40 persen warganya menekuni usaha warteg,” ujar dia.
Tak semua sukses
Tetapi katanya, tidak semua warga yang merantau untuk membuka usaha Warteg berbuah kesuksesan. Sebab, jika memiliki usaha seperti warteg harus pandai melihat peluang pasarnya.
“Jika tidak melihat peluang pasarnya dulu, pasti dagangannya juga tidak laku dan akhirnya bangkrut. Alhamdullilah pemilik usaha warteg sebagian memang sukses, tapi juga banyak yang biasa-biasa saja, tapi mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anaknya hingga ke perguruan tinggi,” papar dia.
“Kalau yang bangkrut juga banyak, mereka biasanya tidak patah semangat dan mencoba lagi ke tempat lain,”
Perihal harga sewa warung yang mahal, Asmawi tidak membantahnya. Ia menyatakan, sewa warung menjadi satu kendala yang dialami pengusaha warteg di perantauan.
“Kendala harga sewa warung yang mahal juga terjadi sekarang ini, setiap tahun harga terus naik dan melonjak. Kalau ukuran warung 4×5 meter di Jakarta rata-rata sampai Rp 30 juta per tahun,” dia menjelaskan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News