
Endang Rohjiani mengambil banyak tanggung jawab dalam hidupnya. Orang-orang dapat mengenalnya sebagai ibu rumah tangga sekaligus aktivis lingkungan yang sangat giat. Ia sangat semangat pada aktivitas pengelolaan ekosistem sungai Winongo Yogyakarta dan pengelolaan sampah lewat budidaya maggot.
Endang Rohjiani merupakan Ketua Forum Komunikasi Winongo Asri (FKWA) Provinsi DI Yogyakarta. Forum ini dibentuk sebagai wadah bagi masyarakat yang tinggal di bantaran Sungai Winongo, Yogyakarta dalam berkomunikasi dan berdiskusi masalah lingkungan sungai.
Sebagai ketua, ia bertanggung jawab atas berbagai kegiatan, pengelolaan, dan konservasi sungai. Untuk mendukung kegiatan konservasi sungai, Endang Rohjiani membudidayakan maggot secara komunal. Selain mendapatkan keuntungan, budidaya ini juga bertujuan untuk mengurangi kuantitas sampah organik di sekitar aliran sungai.
Endang Rohjiani, Aktivis Lingkungan dari Yogyakarta yang Perjuangkan Ekosistem Sungai Winongo
Budidaya Maggot itu Bernama Kandang Maggot Jogja
Tempat budidaya maggot itu dinamakan Kandang Maggot Jogja. Lokasinya ada di RT 61 RW 01 Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta. Sebelum dibudidayakan secara komunal, Endang terlebih dahulu melakukan eksperimen secara mandiri di rumahnya.
“Awalnya saya mencoba sendiri di rumah, kemudian saya beranikan diri untuk mengelola secara komunal,” tutur Endang, dikutip dari Warta Jogja.
Ide pembudidayaan maggot bermula dari beban berlebih yang diterima Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Piyungan. Kelebihan kapasitas di TPA membuat masyarakat kerap membuang sampah ke sungai. Endang selaku penggerak kebersihan dan ekosistem sungai lantas mencari jalan untuk menyelesaikan satu permasalahan tersebut yang memang menjadi fokusnya selama belasan tahun. Maka, ia mendapat ide untuk budidaya maggot.
Profil PNS Inspiratif 2018: Kisah Endang Yuli Mengasuh Puluhan Bayi
“Itulah kenapa kita memilih membuat pengelolaan sampah dengan biokonversi maggot BSF. Dari situ kami mencoba ikut menjawab setidaknya apa yang bisa kita lakukan,” imbuh Endang.
Budidaya maggot yang dikelola Endang Rohjiani mampu menekan masalah sampah organik sekitar dua ton per hari. Sampah tersebut berasal dari makanan sisa, seperti sayuran, buah-buahan, telur dan lain sebagainya.
“Jumlah tersebut masih jauh dari volume sampah organik yang dihasilkan Kelurahan Kricak, yaitu sekitar sembilan ton per hari,” jelas Endang, dalam artikel Antara 2022 lalu.
Sosok Suswaningsih, PNS yang Berjuang Hidupkan Lahan Tandus di Gunungkidul
Menukar Sampah Warga dengan Uang
Endang mengumpulkan sampah organik dari warga Kricak untuk diolah oleh maggot. Setiap ember sampah dapur yang disetorkan akan dihargai Rp3.500. Akan tetapi, tujuan utamanya ialah bukan melakukan transaksi jual beli sampah, melainkan untuk memotivasi warga agar melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik.
“Tujuannya bukan membeli sampah tetapi memberikan nilai pada upaya pemilahan sampah yang dilakukan masyarakat. Sampah yang disetor adalah sampah dapur organik,” jelas Endang.
Sampah-sampat tersebut kemudian diproses oleh maggot. Tidak berhenti di sana, pemprosesan sampah masih berlanjut. Maggot-maggot itu kemudian dapat dijual untuk pakan burung atau ikan. Bahkan, bangkai lalat yang menghasilkan telur maggot pun bisa dijual untuk pakan burung.
Uniknya Pesantren Ekologi Ath-Thaariq Garut hingga Dianggap Kafir karena Didatangi Pemuka Agama Lain
“Jadi, tidak ada yang terbuang sia-sia dari pengelolaan sampah dengan metode maggot ini,” katanya.
Uang hasil penjualan maggot ini digunakan untuk mendukung beragam aktivitas konservasi sungai Winongo. Endang melalui FKWA kerap melakukan bersih-bersih sungai, mengubah titik-titik sampah menjadi ruang terbuka hijau, hingga menanami sempadan sungai Winongo dengan pohon sengon.
“Untuk mendukung kegiatan konservasi sungai dan penanaman pohon, kami mencoba biokonversi maggot dari pengolahan sampah organik, karena ada nilai jual yang lumayan,” tuturnya, dikutip dari Magdalene.
Sosok Sudarmi, Perempuan Gigih yang Pimpin Pengelolaan Hutan Jati di Gunungkidul
Proses Pengelolaan Maggot
Proses pengolahan sampah organik oleh maggot ini cukup mudah. Endang menuturkan, sampah organik terlebih dahulu dihancurkan menjadi bubur agar lebih mudah dikonsumsi oleh maggot. Setelah maggot menjadi pupa, pupa yang sudah tidak bergerak dimasukkan ke dalam kandang lalat. Pupa tersebut kemudian bermetamorfisis menjadi lalat BSF.
Setelah lalat kawin, metamorfisis kembali terjadi dengan menghasilkan telur, menetas, hingga proses menjadi bayi maggot. Maggot yang berukuran besarlah yang kemudian dijual. Kemudian, sisa maggot dapat menjadi pakan ternak atau unggas. Sementara itu, sisa tinja digunakan untuk pupuk tanaman dan sayuran.
“Jadi semuanya kembali ke manusia,” tandasnya.
Kisah Nissa dan Ibang, Kawan Aktivis yang Jadi Pasangan Lalu Dirikan Pesantren Ekologis Ath-Thaariq
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News