Posted on Leave a comment

KUBET – Penerimaan Pajak Indonesia Rendah, Ini Solusi Nyata yang Bisa Diterapkan!

Penerimaan Pajak Indonesia Rendah, Ini Solusi Nyata yang Bisa Diterapkan!

images info

Penerimaan pajak adalah fondasi utama keuangan negara. Lewat pajak, pemerintah membiayai pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan berbagai layanan publik lainnya.

Namun, laporan terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa kinerja penerimaan pajak Indonesia masih memprihatinkan. Rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) hanya sekitar 9 persen, jauh di bawah ambang batas minimal internasional yang direkomendasikan sebesar 15 persen.

gambar

Rasio yang rendah ini menunjukkan lemahnya kemandirian fiskal Indonesia. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka ketergantungan terhadap utang bisa meningkat.

Meski rasio utang Indonesia saat ini masih tergolong aman di angka 39,6 persen menurut Fitch Ratings, ketidakseimbangan antara utang dan penerimaan dapat memicu risiko fiskal ke depan.

 

Akar Masalah: Ketidakpatuhan dan Sistem yang Kurang Efektif

Menurut Dosen FEB UGM, Dr. Rijadh Djatu Winardi, rendahnya penerimaan pajak terutama disebabkan oleh ketidakpatuhan pajak dan lemahnya administrasi.

Ia menyebutkan bahwa Indonesia kehilangan potensi penerimaan hingga Rp546 triliun setiap tahun. Kesenjangan terbesar terjadi pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Badan.

“Penyebabnya karena ketidakpatuhan wajib pajak, administrasi pajak yang kurang efektif, serta sektor informal,” ujarnya sebagaimana dikutip dari keterangan tertulis UGM.

Dr. Rijadh menambahkan bahwa kesenjangan kepatuhan PPN Indonesia tercatat mencapai 43,9 persen dari total kewajiban pajak, atau setara dengan 2,6 persen dari PDB.

Masalah yang sama juga terjadi pada PPh Badan. Potensi pendapatan dari sektor ini yang hilang mencapai sekitar Rp160 triliun per tahun, atau 1,1 persen dari PDB. Ketidakpatuhan dan lemahnya sistem pelaporan perpajakan menjadi penyebab utamanya.

 

UMKM dan Ekonomi Bawah Tanah Belum Tersentuh Optimal

Permasalahan lain datang dari pengaturan pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Ambang batas omzet sebesar Rp4,8 miliar menjadikan banyak pelaku usaha kecil hanya dikenakan PPh Final sebesar 0,5 persen dan dibebaskan dari kewajiban memungut PPN. Hal ini menyebabkan kontribusi sektor UMKM terhadap total penerimaan pajak menjadi relatif kecil.

Lebih jauh, ekonomi bawah tanah atau ‘underground economy’ juga jadi tantangan serius. Dr. Rijadh mengungkapkan bahwa pada tahun 2024, sekitar 47 persen aktivitas ekonomi Indonesia tidak tercakup dalam basis perpajakan.

“Pengumpulan pajak hanya dilakukan pada 53 persen basis pajak. Selain itu, banyak insentif pajak dan dampak COVID-19 turut memperburuk penerimaan pajak,” jelasnya.

 

Membangun Sistem Pajak yang Efisien: Belajar dari Georgia

Untuk membenahi situasi ini, Indonesia bisa belajar dari keberhasilan negara Georgia. Negara tersebut berhasil meningkatkan rasio pajaknya dari 12 persen menjadi 25 persen terhadap PDB pada 2008, bahkan saat mereka menurunkan tarif pajak.

Kuncinya terletak pada reformasi menyeluruh, mulai dari sistem perpajakan yang disederhanakan, pengurangan pengecualian, penguatan transparansi, hingga peningkatan kapasitas teknologi dan SDM perpajakan.

Dr. Rijadh menekankan pentingnya komitmen politik dalam menjalankan reformasi tersebut.

“Negara seperti Georgia berhasil karena memiliki mandat yang jelas, visi yang terdefinisi, serta keberanian untuk menegakkan hukum dan menata ulang sistem perpajakan mereka,” ujarnya.

 

Solusi Nyata yang Bisa Diterapkan Indonesia

Ada beberapa solusi konkret yang bisa dilakukan pemerintah. Pertama adalah memetakan dan menarik aktivitas ekonomi bawah tanah ke dalam sistem pajak. Hal ini memerlukan data yang kuat, kerja sama antarinstansi, serta pemanfaatan teknologi digital.

Kedua, memperluas basis pajak menjadi keharusan. Pemerintah harus mendorong formalisasi sektor informal dan memperbaiki sistem pendataan ekonomi masyarakat.

“Kegiatan ekonomi informal dan bawah tanah perlu dipetakan dengan lebih presisi. Selama ini kegiatan tersebut sulit dipantau dan tidak tersentuh pajak,” tambah Dr. Rijadh.

Ketiga, peningkatan kepatuhan bisa dilakukan melalui perbaikan administrasi, edukasi publik, dan penegakan hukum yang lebih konsisten. Sistem pembayaran yang lebih mudah, layanan berbasis digital, serta sanksi tegas terhadap pelanggaran perpajakan dapat membangun kepercayaan masyarakat.

Keempat, pemerintah perlu mempertimbangkan penerapan pajak baru seperti pajak kekayaan, pajak produksi batu bara, serta windfall tax. Ketiganya dinilai mampu mengisi celah penerimaan yang selama ini tidak tergarap.

“Tentunya semua alternatif ini memerlukan kajian mendalam, kecermatan kebijakan, dan political will,” pungkasnya.

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *