
Belakangan, wacana pemakzulan Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, mencuat dan menjadi topik bahasan di berbagai media sosial. Ini bermula dari pernyataan sikap Forum Purnawirawan TNI yang menyoroti proses pencalonannya dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2024 lalu.
Dalam pernyataan yang diberikan, forum tersebut menyatakan terpilihnya Gibran merupakah buah dari konsensus politik yang dipaksakan. Tak hanya itu, proses pencalonannya juga dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan keadilan elektoral.
Menyoal hal ini, Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A., menjelaskan bahwa permintaan pemakzulan tersebut dianggap belum memiliki dasar hukum yang memadai. Mengapa demikian?
Dalam keterangannya, Yance menerangkan jika dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, setiap proses pemakzulan harus berjalan berdasarkan ketentuan konstitusional, bukan semata-mata didorong opini atau tekanan politik.
Menurutnya, sangat penting untuk membedakan antara dorongan politik simbolik dan mekanisme hukum yang sungguh-sungguh dapat ditempuh. Argumen-argumen yang dilontarkan pun sejauh ini dianggapnya tidak terlalu solid secara hukum.
“Argumen-argumennya juga tidak begitu solid secara hukum. Belum tentu ini memang satu proses hukum yang sedang digulirkan, tapi bisa jadi proses politik yang justru menjadikan spotlight pemberitaan media terarah ke Wakil Presiden Gibran,” terang Yance dalam keterangan resminya.
Sentralisasi Mutasi ASN Tuai Perdebatan, Simak Dampak Positif dan Negatifnya
Bagaimana Sistem Pemakzulan di Indonesia?
Secara konstitusional, mekanisme pemakzulan presiden atau wakil presiden sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Pasal ini menyatakan bahwasannya pemakzulan hanya dimungkinkan apabila yang bersangkutan telah terbukti melakukan pelanggaran hukum.
Pelanggaran hukum yang dimaksud adalah pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, penyuapan, kejahatan berat lain, perbuatan tercela, maupun tidak dipenuhinya syarat sebagai presiden atau wakil presiden.
Hal ini menunjukkan bahwa prosedur pemakzulan tidak dapat dilakukan secara semena-mena. Alih-alih demikian, harus ada pembuktian hukum yang kuat dan berlandaskan ketentuan konstitusi.
“Kalau kita kaitkan dengan impeachment clauses itu yang ada di Pasal 7A, kita tidak melihat mana cantelan yang akan dipakai untuk memberhentikan Gibran sampai hari ini,” terang Yance.
Di sisi lain, Yance juga menjelaskan jika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah pihak yang berwenang untuk melakukan proses pemakzulan. DPR dianggap sebagai “pintu masuk” proses pemakzulan tersebut.
DPR dapat menggunakan hak angket atau langsung mengajukan hak menyatakan pendapat apabila presiden maupun wakilnya dianggap melakukan pelanggaran hukum yang sesuai dengan Pasal 7A UUD 1945.
“Nanti kalau MK menyatakan terbukti, itu bisa menjadi dasar untuk MPR mengadakan sidang dan memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden,” imbuhnya.
Kesejahteraan Buruh Disebut Membaik, Pakar UNAIR: Ada Peningkatan, tapi Masih Ada Tantangan
Bisakah Wapres Gibran Dianggap Melakukan Pelanggaran Etik?
Menjawab hal ini, Yance menyampaikan bahwa ini bisa dikaitkan dalam impeachment clauses, terutama jika memang terbukti selama proses pencalonannya sebagai wakil presiden terdapat intervensi kekuasaan.
Namun, aspek ini membutuhkan penyelidikan hukum yang cermat untuk membuktikan adanya pelanggaran yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tercela atau penghilangan syarat konstitusional.
“Kalau memang Gibran atau orang tuanya, mantan Presiden Jokowi, terlibat dalam manipulasi proses persidangan MK atau di KPU, itu bisa dijadikan dasar untuk melihat ada manipulasi yang sudah terjadi dan sebenarnya Gibran tidak memenuhi syarat sebagai calon Wakil Presiden,” sebut Yance.
Yance turut menekankan jika batas usia Capres dan Cawapres sesuai dengan UUD 1945 adalah 40. Gibran sendiri dilantik di usia 37 tahun. Ini dapat membuka ruang interpretasi konstitusional yang lebih luas, utamanya jika proses hukum benar-benar membuktikan syarat tersebut dilanggar secara sistematis dan sengaja.
Ia kembali menyatakan jika proses pemakzulan hanya sah jika berangkat dari fondasi hukum yang kokoh, bukan dari rasa ketidakpuasan politik. Perlu adanya pendekatan hukum yang dapat dimulai dari DPR lewat pembentukan panitia angket atau gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atas dasar pencalonan yang dianggap tidak sah.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News