Posted on Leave a comment

KUBET – Kongres Budaya Jawa di Surakarta pada 1929, Munculnya Kesadaran akan Pendidikan Sastra dan Bahasa

Kongres Budaya Jawa di Surakarta pada 1929, Munculnya Kesadaran akan Pendidikan Sastra dan Bahasa

images info

Pada akhir 1929, terdapat sebuah pertemuan yang diadakan di daerah Surakarta. Pertemuan yang mengangkat tema seputar kebudayaan ini bernama Kongres Budaya Jawa.

Kongres Budaya Jawa di Surakarta merupakan pertemuan dan diskusi yang diadakan oleh Java Instituut. Sebenarnya kongres di Surakarta ini bukanlah kali pertama Java Instituut mengadakan pertemuan dengan tema kabudayaan.

Sebelumnya Java Instituut juga pernah mengadakan Kongres Budaya Jawa di beberapa tempat berbeda. Meskipun demikian, terdapat perbedaan dari pembahasan pada masing-masing kongres yang diadakan tersebut.

Lantas apa saja isu dan tema bahasan yang dibahas dalam kongres yang diadakan di Surakarta pada 1929? Simak pembahasan lengkap seputar kongres ini dalam artikel berikut.

Kongres Budaya Jawa di Surakarta 1929

Dinukil dari skripsi Abyan Habib Baskoro yang berjudul, “Kongres Budaya Jawa di Yogyakarta dan Surakarta dalam Majalah Djawa (1925-1940),” Kongres Budaya di Surakarta diadakan selama tiga hari penuh pada 27 hingga 29 Desember 1929. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kongres ini merupakan rangkaian dari beberapa pertemuan yang pernah diadakan sebelumnya.

Dua tahun sebelumnya, Java Instituut pernah mengadakan kongres budaya di Yogyakarta. Kongres di Yogyakarta ini dadakan pada 1927 dan menjadi cikal bakal terbentuknya Museum Sonobudoyo.

Selain itu pada 1926, kongres serupa juga pernah diadakan di Surabaya dan membahas kebudayaan Osing, Tengger, dan Madura. Meskipun demikian, topik bahasan dari ketiga kongres tersebut memiliki fokus yang berbeda antara satu sama lain.

Pembahasan Kongres

Isu pendidikan menjadi fokus utama dalam pembahasan Kongres Budaya Jawa di Surakarta pada 1929. Tema bahasan serupa juga pernah dibahas dalam kongres budaya yang diadakan di Jawa, meskipun tidak sama secara spesifik.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Abyan ketika dihubungi tim GNFI pada Senin, 12 Mei 2025. Berdasarkan temuannya, Abyan menjelaskan bahwa bidang pendidikan menjadi isu yang banyak disinggung dalam kedua kongres tersebut.

“Pendidikan menjadi satu topik besar yang cukup penting dalam pembahasan kedua kongres tersebut. Kondisi pendidikan di Hindia Belanda pada periode tersebut menjadi perhatian para ahli, baik dari kaum bumiputra maupun dari kalangan orang Belanda, yang dinilai perlu adanya evaluasi,” jelas Abyan kepada tim GNFI.

Meskipun demikian, fokus dari isu pendidikan yang dibahas dalam kongres di Surakarta berbeda dengan yang ada di Yogyakarta. Dalam kongres yang diadakan pada 1929 ini, para pembicara lebih banyak mendiskusikan tentang pendidikan kebahasan tingkat lanjut.

Salah satu hal yang banyak disoroti dalam pembahasan kongres ini adalah adanya kesadaran akan pendidikan bahasa dan sastra. Bahkan kongres ini juga mengusulkan adanya lembaga pendidikan yang secara khusus memberikan pengajaran terkait bidang ilmu ini.

“Di kongres Jogja, lebih difokuskan kepada persoalan pendidikan dasar dan pendidikan non-formal, sedangkan kongres Surakarta membahas pendidikan kebahasaan tingkat lanjut. Sehingga ada keterkaitan antara kongres di Jogja dengan yang di Surakarta, meski tidak secara langsung,” papar Abyan.

Implementasi dari Hasil Kongres

Kongres Budaya Jawa di Surakarta pada 1929 memunculkan hasil akan perlunya pendidikan tingkat lanjut pada bidang keilmuan sastra dan bahasa timur, dalam hal ini Indonesia. Sebab pada waktu itu, pendidikan pada masa kolonial lebih banyak berfokus pada bidang-bidang lainnya, seperti kedokteran, hukum, dan lainnya.

Atas dasar inilah, para peserta kongres kemudian mengusulkan agar adanya pendirian lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu sastra dan bahasa. Pendirian lembaga pendidikan dalam bentuk Fakultas Sastra ini direncanakan akan didirikan di Batavia pada waktu itu.

Meskipun demikian, pendirian Fakultas Sastra ini tidak bisa langsung terjadi dalam waktu dekat setelah kongres diadakan. Kondisi ekonomi yang terjadi pada waktu itu turut memengaruhi proses implementasi ini.

Seiring berjalannya waktu, wacana pendirian Fakultas Sastra kemudian tidak terbatas pada pendidikan bahasa saja. Beberapa bidang keilmuan lain, seperti ilmu sosial dan Indologi-Javanologi juga akan diajarkan dalam lembaga pendidikan tersebut.

“Pendidikan tinggi yang semula berfokus pada studi bahasa dan sastra ini menjadi bergeser, dengan ditambahkannya beberapa studi lain seperti ilmu-ilmu sosial dan Indologi-Javanologi, yang lulusannya diharapkan bisa lebih mudah terserap di dunia kerja sebagai pegawai pemerintah kolonial Belanda,” jelas Abyan.

Nantinya rancangan dari pendirian Fakultas Sastra di Batavia inilah yang di kemudian hari akan menjadi Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia yang masih eksis hingga saat ini.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *