Posted on Leave a comment

KUBET – Nikel, Komoditi Andalan Indonesia yang Bisa Jadi “Alat Tawar” dengan AS, Mengapa?

Nikel, Komoditi Andalan Indonesia yang Bisa Jadi “Alat Tawar” dengan AS, Mengapa?

images info

Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengumumkan deretan negara yang terkena tarif dagang. Dari puluhan negara yang masuk daftar, Indonesia adalah salah satunya.

Indonesia terkena tarif resiprokal sebesar 32 persen. Tarif ini seharusnya sudah berlaku mulai 9 April 2025. Namun, Trump menundanya selama 90 hari untuk memberi waktu kepada sejumlah negara untuk bernegosiasi.

Pemerintah Indonesia sendiri menyatakan tidak akan mengambil “balasan” terkait tarif yang diberikan itu. Alih-alih membalas, Indonesia memilih untuk bernegosiasi dengan Washington untuk menurunkan tarif tersebut.

Prof. Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M., Guru Besar Hukum Administrasi Negara, Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai negosiasi dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan AS akan mineral penting dan keinginan Indonesia untuk mengembangkan pengolahan domestiknya.

Ia menyebut, Negeri Paman Sam tengah mencabut bea masuk global atas sejumlah mineral penting tertentu. Langkah ini dinilai Mailinda tidak terlalu mengejutkan, karena beberapa jenis mineral memang sangat penting untuk perekonomian Amerika Serikat.

Mineral-mineral tersebut digunakan untuk mendukung pembuatan ponsel pintar hingga rudal pemandu. Negara-negara dengan sumber daya mineral melimpah memiliki posisi tawar yang kuat di hadapan Amerika Serikat.

“Pada dasarnya hal ini memperkuat akses Amerika terhadap sumber daya tersebut dan membuat ketersediaan globalnya menjadi semakin strategis,” ujarnya dalam keterangan resmi.

Menurut Survei Geologi Amerika Serikat Tahun 2022, negara ini membutuhkan berbagai jenis mineral penting, seperti nikel, kobalt, litium, dan unsur tanah jarang untuk mendukung produksi mereka. Melihat hal ini, Indonesia dapat memanfaatkannya untuk menaikkan nikel sebagai “alat tawar” kepada Amerika Serikat.

Indonesia Punya Nikel untuk Jadi “Alat Tawar” dengan AS

Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia. Menukil dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), 42 persen cadangan nikel di dunia ada di Indonesia.

Per 2023, sumber daya nikel yang dimiliki Indonesia mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam. Sementara itu, jumlah cadangannya mencapai 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam.

Menurut Mailinda, Indonesia telah memberi sinyal bahwa kemungkinan akan menggunakan komoditi tersebut sebagai alat tawar dalam menghadapi tarif Trump.

Tak hanya Indonesia, Mailinda juga menjelaskan bagaimana Tiongkok yang memproduksi 90 persen logam tanah jarang dunia—sekaligus pemasok utama Amerika Serikat—merespons tarif tersebut dengan menghentikan ekspor berbagai jenis mineral penting.

“Kekuatan dari tawar ini bukanlah sekadar teori. Baik pembatasan dari Tiongkok maupun Indonesia disebut sebagai hambatan non-tarif dalam National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers terbaru dari United States Trade Representative,” paparnya.

Meskipun demikian, Mailinda menjelaskan jika pemerintah menghadapi dilema, apakah akan memanfaatkan keunggulan jangka pendek atau akan tetap fokus pada industrialisasi jangka panjang. Penggunaan ekspor mineral sebagai alat tawar disebutnya memperpanjang negosiasi dagang dengan AS.

Indonesia disebutnya berbeda dengan Tiongkok yang memiliki kekuatan ekonomi besar dan mampu mengalihkan ekspornya ke pasar lain. Hal ini dikarenakan, Indonesia belum memiliki fleksibilitas serupa.

“Sebagai negara berkembang, Indonesia mungkin tidak sanggup menanggung dampak finansial dari tarif berkepanjangan,” imbuhnya.

Langkah Apa yang Sebaiknya Diambil?

Sejauh ini, Mailinda menilai Indonesia telah mengambil langkah yang kooperatif. Pemerintah menjanjikan sejumlah konsesi untuk memenuhi tuntuan AS, termasuk menurunkan kuota impor dan melonggarkan aturan kandungan lokal untuk produk elektronik asal AS.

Namun, kesepakatan dagang yang lebih terbuka dapat melemahkan kebijakan yang telah dibangun Indonesia. Sejak 2020, Indonesia sudah mendorong agar bijih mineral tetap diolah dalam negeri, sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

“Membalikkan arah saat ini akan menyia-nyiakan upaya dan investasi selama bertahun-tahun,” sebutnya.

Menurut Mailinda, kemungkinan yang diambil adalah menghidupkan kembali Perjanjian Kerangka Kerja Perdagangan dan Investasi (TIFA) dengan AS. Namun, terdapat kemungkinan jika AS akan menuntut akses lebih besar ke mineral penting Indonesia sebagai bagian dari perjanjian baru.

“Tanda-tanda hal ini sudah terlihat dalam pembicaraan perdagangan terbaru, di mana Indonesia menunjukkan kesediaan untuk memperdalam kerja sama dalam rantai pasokan mineral penting meskipun cakupan dan mekanismenya masih belum jelas,” katanya.

Saat ini, kerangka hukum Indonesia masih memberlakukan larangan terhadap ekspor bijih mineral mentah. Oleh karenanya, perluasan akses ini memungkinkan untuk reformasi legislatif dan regulasi besar.

Di sisi lain, Mailinda menerangkan jika ketidakpastian kebijakan AS ini masih terus berlanjut, maka dunia akan berubah. Akan banyak negara yang memilih untuk mempererat perdagangan dalam wilayah masing-masing.

“Jika tren ini berlanjut, dunia bisa bergerak semakin jauh dari kerja sama global dan menuju sistem di mana hanya kelompok-kelompok negara tertentu yang bekerja sama,” tutupnya.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *