Posted on Leave a comment

KUBET – PP Tunas, Regulasi Pemerintah dalam Mengatur Ruang Digital yang Aman bagi Anak

PP Tunas, Regulasi Pemerintah dalam Mengatur Ruang Digital yang Aman bagi Anak

images info

Di era digital yang semakin hari perkembangannya semakin di luar jangkauan, anak-anak rentan terpapar berbagai risiko online, mulai dari konten negatif hingga eksploitasi data pribadi.

Untuk melindungi generasi muda, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas) telah menetapkan sejumlah aturan yang mengklasifikasikan tingkat risiko platform digital berdasarkan potensi bahayanya bagi anak. 

“Kebijakan ini ditujukan untuk melindungi 80 juta anak,” ujar Ibu Aida Rezalina, staf khusus Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dalam Bootcamp Gerakan 100 Komunitas Tanpa Gadget.

Stafsus Komdigi: Mencegah Kecanduan Gadget pada Anak Perlu Sinergi Pemerintah dan Komunitas

Pengaturan Akses Anak di Platform Digital 

Dalam praktiknya, PP Tunas mengatur batasan usia dalam penggunaan platform digital ke dalam tiga kategori.  

Anak di bawah 13 tahun hanya boleh mengakses platform berisiko rendah yang khusus dirancang untuk anak.  Anak di bawah 13 tahun masih dalam tahap perkembangan kritis di mana mereka belum memiliki kemampuan untuk sepenuhnya memahami risiko online, misalnya konten negatif, predator, atau manipulasi data.

Selain PP Tunas, regulasi seperti COPPA (Children’s Online Privacy Protection Act) di Amerika Serikat melarang platform umum mengumpulkan data anak di bawah 13 tahun tanpa izin orang tua. Platform anak biasanya mematuhi standar privasi yang lebih ketat.

Kapan Anak Boleh Dikenalkan Gadget? Psikolog Beberkan Aturan dan Dampaknya

Usia 13-14 tahun boleh menggunakan platform berisiko rendah dengan persetujuan orang tua.  Pada usia ini, anak mulai mengeksplorasi identitas digital tetapi belum memiliki kematangan penuh untuk menilai risiko. Orang tua diharapkan bisa membimbing anak tentang penggunaan yang sehat, termasuk memahami jejak digital dan batasan berbagi informasi.

Sementara itu, usia 16-18 tahun diizinkan memiliki akun di berbagai platform asalkan mendapat persetujuan orang tua.  Remaja usia 16 tahun ke atas umumnya lebih mampu memahami konsekuensi online, tetapi persetujuan orang tua tetap penting untuk platform berisiko tinggi, misalnya aplikasi kencan.

Di sisi lain, remaja membutuhkan akses ke platform seperti YouTube untuk belajar. Persetujuan orang tua tetap dibutuhkan untuk memastikan mereka menggunakan platform tersebut secara bertanggung jawab.

Standardisasi di Media Sosial yang Menghantui Anak Bisa Rusak Potensi dan Membunuh Karakter

Batasan 18 tahun menjadi batasan karena Undang-Undang Perlindungan Anak berlaku hingga usia tersebut. 

“Kami tahu bahwa karena ini peraturan, tidak mudah dipahami oleh masyarakat tentunya,” tutur Aida.

Pemerintah memainkan peran krusial dalam menciptakan ekosistem digital yang aman bagi anak. Akan tetapi, kolaborasi dengan komunitas, sekolah, dan orang tua tetap diperlukan untuk memastikan perlindungan maksimal di ruang digital. Dengan regulasi yang jelas dan kesadaran masyarakat, kita bisa membentuk generasi yang cerdas dan terlindungi di dunia maya.

Oleh karenanya, dibutuhkan peran komunitas seperti Kampung Lali Gadget untuk bersinergi mewujudkan tujuan yang ingin dicapai bersama. Regulasi PP Tunas ini sejalan dengan misi Kampung Lali Gadget, yang mengedukasi orang tua dan anak tentang penggunaan gawai secara bijak.

Diharapkan, orang tua dapat lebih mudah memilih platform yang aman bagi anak, sekaligus mendorong penerapan digital parenting yang lebih terarah. 

Gadget di Tangan Anak adalah Tanggung Jawab Penuh Orang Tua

Kriteria Penilaian Risiko Platform Digital 

Challenge saat ini banyak sekali, tapi yang mau saya highlight adalah bahwa PP ini tuh sebenarnya mengatur platformnya,” jelas Aida.

PP Tunas mengidentifikasi aspek-aspek risiko Produk, Layanan, dan Fitur (PLF)  yang dapat membahayakan anak.

Kontak dengan orang asing merupakan salah satu risiko PLF yang berbahaya. Penggunaan media sosial menimbulkan konsekuensi anak bergaul dengan pihak yang tidak dikenal.  Anak-anak rentan menjadi target predator online, penipuan, atau perundungan (cyberbullying). Interaksi dengan orang asing dapat mengarah pada eksploitasi seksual, penculikan, atau manipulasi psikologis.

Hidup di Dunia Sejatinya Hanya Bermain: Jadi, Ayo Main di Luar Rumah!

Eksploitasi anak sebagai konsumen merupakan risiko lain yang menghantui anak di media sosial.  Banyak platform memanfaatkan anak melalui iklan agresif, pembelian dalam aplikasi (in-app purchases), atau konten komersial yang mendorong konsumerisme berlebihan.

Anak-anak belum memiliki kematangan kognitif untuk memahami strategi pemasaran ini sehingga regulasi seperti PP Tunas sangat dibutuhkan agar risiko ini tidak semakin mengancam.

Selain dua risiko tersebut, kebocoran data pribadi berupa ancaman keamanan identitas digital anak.  Anak sering kali tidak menyadari risiko membagikan informasi pribadi seperti nama, alamat, atau foto. Kebocoran data dapat mengakibatkan pencurian identitas, cyberstalking, atau penyalahgunaan informasi oleh pihak tak bertanggung jawab.

Paparan konten berbahaya, seperti pornografi, kekerasan, atau konten yang mengancam keselamatan juga menjadi perhatian yang diatur PP Tunas.  Konten dewasa atau kekerasan dapat memengaruhi perkembangan emosional dan moral anak. Paparan berulang dapat menormalisasi perilaku agresif atau merusak persepsi anak tentang hubungan sehat.

Gerakan 100 Komunitas Bermain Tanpa Gadget oleh GNFI X KLG, Pertemukan Komunitas Demi Anak Indonesia

 

 

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *