Posted on Leave a comment

KUBET – Larangan Keluar Rumah Malam 1 Suro dan 27 Ramadan: Mitos Jawa & Anak Rawa Penyengat yang Penuh Makna Spiritual

Larangan Keluar Rumah Malam 1 Suro dan 27 Ramadan: Mitos Jawa & Anak Rawa Penyengat yang Penuh Makna Spiritual

images info

Menjelang maghrib saat malam 1 Suro, suasana terasa berbeda; lebih mistis. Masyarakat merapalkan doa-doa berisi memohon ampunan atas kesalahan dan dosa yang dilakukan selama satu tahun; juga memohon pertolongan, petunjuk, serta perlindungan untuk perjalanan satu tahun kedepan kepada Tuhan. Masyarakat pun percaya, mereka dilarang untuk keluar rumah saat malam 1 Suro.

Apa Itu Malam Satu Suro? Simak Larangan dan Pandangan dalam Islam

Apa Itu Malam 1 Suro dan Mengapa Dianggap Sakral

Sebagai informasi, malam 1 Suro atau malam 1 Muharam adalah malam pergantian tahun baru dalam Islam. Sebagaimana kebiasaan masyarakat, perpindahan atau pergantian dari suatu tempat atau waktu biasanya ditandai dengan doa dan harapan.

Pergantian tahun baru Masehi misalnya, masyarakat beramai-ramai membuat revolusi. Begitupun pergantian tahun baru Islam (Hijriah) yang diwarnai dengan beragam perayaan dan tradisi.

Meski demikian, masyarakat—terkhusus Jawa—juga memiliki pantangan tersendiri yang harus dihindari saat malam pergantian tahun baru Hijriah atau biasa dikenal sebagai malam 1 Suro. Pantangan tersebut ialah keluar rumah.

Perbedaan Penanggalan 1 Suro Antara Masehi, Hijriah, dan Kalender Jawa

Mitos dan Larangan Keluar Rumah dalam Tradisi Jawa Saat 1 Suro

Menurut kepercayaan orang Jawa, setelah asar—menjelang maghrib adalah waktu ketika alam gaib lebih terbuka. Batas antara dunia gaib dan dunia manusia lebih dekat. Saat itulah makhluk gaib dinilai lebih aktif sehingga menularkan energi spiritual yang lebih kuat.

Oleh karena itu, masyarakat dianjurkan untuk berada di dalam rumah.

Mitos larangan keluar rumah saat malam 1 Suro telah menjadi kepercayaan masyarakat Jawa. Bahkan, hingga saat ini kepercayaan tersebut masih dianut dan dilakukan. Menurut kepercayaan masyarakat, apabila larangan tersebut dilanggar seseorang ia akan ditimpa kesialan atau hal hal negatif.

Menguak Tuntas Mitos Malam Satu Suro: Larangan dan Kepercayaan yang Menyelubunginya

Diceritakan, saat malam 1 Suro, Kanjeng Ratu Kidul tengah memerintahkan prajuritnya untuk berkunjung ke keraton. Kawasan yang dilewati para rombongan prajurit Kanjeng Ratu Kidul akan merasakan aura yang kuat, seperti deru angin kencang.

“Sehingga agar tidak terkena aura yang negatif karena ada makhluk halus yang lewat maka disyaratkan agar tinggal di dalam rumah saja,” jelas Tundjung Wahadi Sutirto, Budayawan sekaligus dosen Program Studi Ilmu Sejarah di UNS Surakarta, dikutip dari Kompas.com.

Mitos dan Larangan Keluar Rumah Suku Anak Rawa Penyengat Pada Tanggal 27

Menjelang sore, sesajen berupa kopi, kue tradisional, atau masakan lokal disusun di depan rumah menggunakan wadah dari pelepah sagu atau daun rumbia, lengkap dengan ukiran simbolik.

Tujuannya? menyambut arwah nenek moyang atau leluhur yang akan datang ke rumah untuk makan bersama. Lilin menyala sebagai penanda kehadiran mereka. Ketika lilin padam sempurna, ritual selesai dan sesajian boleh disantap oleh keluarga.

Menyambut leluhur di dalam rumah, suku Anak Rawa Penyengat percaya, mereka dilarang keluar rumah saat sore hari pada saat Tujuh Liku. Larangan ini merupakan bentuk penghormatan alam dan leluhur. Rumah menjadi pusat komunikasi spiritual dan perlindungan kosmik.

Asal Usul Talang Mamak, Suku Asli Pedalaman Riau Warisan Datuak Parpatiah Nan Sabatang

“Kita tidak boleh keluar rumah karena ritualnya kita laksanakan di rumah masing-masing,” ungkap Alit, Ketua Ikatan Keluarga Besar Suku Asli Anak Rawa.

Tidak hanya Jawa, anjuran untuk berada di dalam rumah pada saat-saat tertentu juga berlaku bagi suku Anak Rawa Penyengat yang berada di Kabupaten Siak, Provinsi Riau.

Mereka harus berada di dalam rumah pada tanggal 27 bulan Ramadan atau kalender Cina. Mereka menyebutnya sebagai Tujuh Liku.

Saat itu, suku Anak Rawa Penyengat menajalnnya tradisinya. Sebab, dalam kepercayaan mereka, roh leluhur akan hadir di rumah sehingga mereka harus menyambut dengan berbagai ritual lainnya.

Sakai, Suku Nomaden Asal Riau yang Bergantung Pada Hutan

Makna Filosofis: Harmonisasi Manusia, Alam, dan Tuhan

Larangan keluar saat Tujuh Liku dan 1 Suro bukan tabu kosong; ia adalah penanda tata kosmis. Dengan diam dan tinggal di rumah, masyarakat memberi ruang bagi ritual spiritual, mempererat rasa kekeluargaan, serta memuliakan alam dan leluhur.

Tundjung Wahadi Sutirto mengatakan, inti dari kepercayaan tersebut sebenarnya adalah agar masyarakat memberikan ruang untuk melakukan perenungan, kontemplasi, dan memanjatkan doa-doa di dalam rumah.

Di tengah modernitas yang serba cepat, masyarakat sejenak perlu melakukan refleksi diri. Mitos, larangan, perintah, dan refleksi bukan sekadar narasi budaya atau dogma spiritual, tetapi juga merupakan bagian dari bentuk penyelarasan diri dengan alam dan kuasa Tuhan.

Tradisi Topo Bisu, Bentuk Rasa Evalusi Diri Warga Yogyakarta di Malam 1 Suro

“Substansinya dalam mitos itu ada nilai yaitu berdiam diri sembari melakukan doa kepada Yang Maha Kuasa. Itu esensinya adalah harmonisasi dalam tata kehidupan semesta ini,” jelasnya.

Hal ini juga diungkapkan Hesti Nur ‘Amala melalui skripsinya bahwa mitos bukan sekadar cerita fiksi, melainkan narasi sakral yang menyatukan manusia dengan realitas transenden dan memberi struktur makna atas hadirnya alam dan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari

“Mitos berfungsi menjelaskan asal-usul dunia, makhluk hidup sampai adanya nilai dan norma di masyarakat,” ungkapnya.

Malam 1 Suro, Kisah Pendaki yang Berdoa dan Ziarah ke Gunung Lawu

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *