
Hilirisasi atau proses pengolahan bahan mentah menjadi sebuah produk bernilai, baik setengah jadi maupun produk jadi sedang digodok oleh pemerintah. Salah satu produk hilirisasi yang dikembangkan adalah batu bara.
Proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai alternatif Liquefied Petroleum Gas (LPG) bertujuan untuk mengurangi ketergantungan impor LPG. Tidak hanya itu, langkah ini juga diharapkan dapat memperkuat hilirisasi energi nasional.
Penggunaan DME berpotensi dapat mengurangi ketergantungan pada impor LPG, di mana saat ini mencapai sekitar 70 persen dari total kebutuhan nasional. Jumlah ini setara dengan kurang lebih tujuh juta ton per tahun.
Di sisi lain, Indonesia memiliki stok ketersediaan batu bara yang amat melimpah, Hal ini dapat mendukung dan memastikan pasokan bahan baku DME untuk jangka panjang.
Dosen Teknik Lingkungan Fakultas Sains dan Teknologi (FST) Universitas Airlangga (UNAIR), Wahid Dianbudiyanto, S. T., M. Sc., menjelaskan bahwa hilirisasi batu bara menjadi DME bisa menjadi langkah strategis. Selain dapat mengurangi ketergantungan energi impor, DME juga bisa meningkatkan nilai tambah ekonomi dalam negeri.
“Dengan memanfaatkan sumber daya batubara yang berlimpah, Indonesia dapat memperkuat ketahanan energi sekaligus mengurangi defisit neraca perdagangan akibat impor LPG yang besar,” sebut Wahid dalam keterangan resminya di unair.ac.id.
Hilirisasi di Indonesia, Pengertian, Contoh, dan Manfaatnya untuk Kemajuan Ekonomi Negara
Adakah Dampaknya untuk Lingkungan?
DME yang berasal dari batu bara memiliki jejak karbon yang lebih tinggi dibandingkan LPG. Ini dikarenakan gasifikasi batu bara melepaskan CO2 secara intensif.
Meskipun emisi saat pembakaran DME lebih rendah karena pembakaran lebih bersih, emisi total siklus hidup DME, termasuk produksi dan penggunaan, tetaplah lebih besar daripada LPG yang berbasis gas alam.
Akan tetapi, Wahid menjelaskan jika DME bisa lebih ramah lingkungan lewat penggunaan teknologi Carbon Capture and Storage (CSS) atau mencampurkan bahan baku biomassa sebagai bahan baku alternatif.
“Gasifikasi batubara memang berpotensi meningkatkan emisi karbon. Namun, dampak ini dapat dikurangi dengan penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) atau dengan mencampurkan biomassa sebagai bahan baku alternatif. Langkah-langkah ini dapat membantu menekan jejak karbon dan menjadikan DME sebagai opsi energi yang lebih berkelanjutan,” jelasnya.
Di sisi lain, teknologi gasifikasi batu bara masih memiliki tantangan yang besar karena biaya yang sangat tinggi dan prosesnya yang kompleks, sehingga perlu investasi dalam jumlah yang cukup besar.
Tidak hanya itu, distribusi DME juga tidak dapat dilakukan dengan infrastruktur yang ada saat ini, mengingat densitas energinya lebih rendah dibandingka LPG. Sekitar tiga juta ton LPG per tahun memerlukan setidaknya empat hingga lima pabrik gasifikasi berskala besar.
“Karakteristik fisik DME berbeda dari LPG, sehingga diperlukan penyesuaian dalam sistem penyimpanan dan transportasi agar bahan bakar ini dapat digunakan secara optimal,” imbuh Wahid.
Dosen Teknik Lingkungan ini juga menyarankan perlunya untuk menetapkan harga patokan DME agar tetap menarik bagi produsen, konsumen, dan menyediakan insentif fiskal, seperti tax holiday atau pembebasan bea masuk demi menekan beban produksi dan distribusi.
Bali Kian Harum dengan Pusat Flavor dan Fragrance untuk Hilirisasi Minyak Atsiri
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News