Posted on Leave a comment

KUBET – Pentingnya Mengonsumsi Konten dan Berita Baik Bagi Kesehatan Mental

Pentingnya Mengonsumsi Konten dan Berita Baik Bagi Kesehatan Mental

images info

Paparan berita buruk turut berpengaruh pada kondisi psikologis seseorang. Konsumsi berita-berita yang memicu kemarahan atau sedih secara terus menerus berpotensi menyebabkan stres.  

British Journal of Psychology mengungkap, intensitas emosi dan perasaan tegang (stres) yang timbul pada seseorang tergantung pada seberapa besar relevansi pemicu stres pada kehidupan seseorang. Semakin besar tingkat relevansi suatu berita terhadap kehidupan pribadi seseorang, semakin besar pula dampak yang ditimbulkan. Relevansi pribadi menjadi faktor penting dalam menentukan bagaimana informasi kritis dan intensif diproses dan dievaluasi.

gambar

Oleh karena itu, dampak yang ditimbulkan sebuah berita tidaklah sama antara satu pembaca dengan pembaca lainnya.

GNFI dan Kampung Lali Gadget Dorong Gerakan Nasional Kurangi Ketergantungan Anak pada Ponsel

Meski demikian, berita-berita buruk juga turut menimbulkan kemarahan secara luas. Hal ini terjadi apabila apa yang dikabarkan berkaitan dengan kepentingan banyak orang. Di tahap ini, pengaruh terhadap kondisi psikologis tidak hanya ada di tataran pribadi, tetapi telah meluas menjadi kemarahan bersama.

Kondisi ini jelas berbahaya. Psikolog Klinis, Pamela Andari Priyudha, M.Psi., Psikolog mengatakan bahwa paparan berita negatif secara terus menerus dapat menimbulkan dampak berupa ketegangan psikologis hingga apatisme secara kolektif.

“Ketika seseorang merasa tidak berdaya, mereka bisa mengalami learned helplessness yaitu kondisi di mana merasa tidak mampu mengubah situasi meskipun sebenarnya ada peluang. Ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan apatisme, frustasi, dan depresi secara kolektif,” jelas Pamela, Rabu (9/4), dikutip dari UGM.

Ramai Gerakan Kembali ke Ponsel Jadul, Apakah Tertarik?

Pancingan Click Bait dan Budaya Baca Sekilas

Salah satu faktor yang turut andil dalam memicu stres saat membaca berita adalah kemampuan literasi yang kurang baik. Pancingan umpan klik dari media berita online lewat judul dan kebiasaan masyarakat yang hanya membaca sekilas menjadi salah satu faktor yang berperan cukup besar.  

Dalam hal ini, banyak pembaca yang terjebak dalam kesimpulan prematur. Artinya, hanya dengan membaca judul atau komentar tanpa menelusuri informasi secara utuh. Kebiasaan ini menyebabkan seseorang mudah terpancing dan terprovokasi.

Orang tua dan lansia, remaja dan anak muda yang terlalu banyak mengonsumsi media sosial, serta orang-orang dengan tingkat literasi digital rendah dan akses terhadap informasi kredibel yang terbatas, menjadi golongan paling rentan mengalami gangguan kondisi psikologis.

Etika Komunikasi di Era Digital: Pandangan Prof. F. Budi Hardiman, Guru Besar Filsafat UPH Jakarta

Oleh karena itu, kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dan etis perlu ditingkatkan.

“Saya kira penting bagi individu, institusi pendidikan, serta komunitas sosial untuk secara aktif memberikan edukasi yang berkelanjutan mengenai literasi digital dan keterampilan pengelolaan emosi, guna membentuk masyarakat yang lebih resilien dan siap secara psikologis dalam menghadapi tekanan informasi di era digital yang serba cepat ini,” jelasnya.

Dalam hal ini, perguruan tinggi mengambil peran cukup krusial dalam membentuk ketahanan psikologis generasi muda, khususnya melalui upaya peningkatan literasi digital dan literasi kesehatan mental.

Institusi pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar akademik, tetapi juga sebagai ruang yang mendukung perkembangan emosional dan sosial peserta didik.

Terapi Kesehatan Mental Berbasis Budaya, Kolaborasi Ilmu Psikologi dan Antropologi dari Prof. Subandi

Pentingnya Filter Berita untuk Kesehatan Mental

Salah satu hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk meminimalisasi dampak buruk dari konsumsi berita secara cepat adalah melakukan filter jenis berita. Kawan dapat membatasi konsumsi informasi yang berpotensi memicu kecemasan.

“Kita harus menyadari batasan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang berada di luar kendali kita. Fokus pada peran dan tanggung jawab yang bisa dijalankan akan membantu menjaga semangat dan rasa optimisme,” terangnya.

Selain itu, perlu juga menggali sumber yang kredibel untuk mendapat informasi yang lebih komprehensif. Tujuannya, agar mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif dan seimbang.

Bukan Indonesia, Ternyata Warga Negara Ini yang Habiskan 60% Waktunya untuk Bermain Ponsel

Kawan juga perlu mengonsumsi konten-konten yang bersifat positif, inspiratif, atau membangun, guna membantu menjaga suasana hati tetap stabil dan mendorong pola pikir.

Terakhir, saling memberikan semangat dan kekuatan antarindividu menjadi langkah penting menghadapi berita-berita negatif yang tidak ada habisnya. Salah satu yang dapat dilakukan ialah dengan hadir sebagai pendengar yang baik; mendengarkan keluhan, kecemasan, dan keresahan tanpa memberikan penilaian atau respons yang menghakimi. 

Tidak hanya itu, Kawan juga dapat bergabung atau bahkan membentuk suatu komunitas. Sebab, komunitas memiliki peran yang tidak kalah penting dalam mendukung terciptanya ekosistem informasi yang sehat dan konstruktif. Komunitas memiliki tanggung jawab moral untuk turut serta dalam membangun ruang publik yang bebas dari misinformasi, ujaran kebencian, dan konten yang bersifat provokatif.

“Melalui kerja kolektif, komunitas dapat berkontribusi dalam memverifikasi keakuratan informasi yang beredar, menyebarkan konten yang berimbang antara berita positif dan negatif, serta menumbuhkan empati dan solidaritas antaranggota masyarakat,” tandasnya.

Strategi Kemendikdasmen Tingkatkan Literasi Lewat Sastra, dari Pembiayaan Komunitas hingga Kenalkan ke Anak-Anak

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *