Posted on Leave a comment

KUBET – Mengenal Kodok Merah, Spesies Endemik Jawa yang Terancam Punah

Mengenal Kodok Merah, Spesies Endemik Jawa yang Terancam Punah

images info

Kodok merah (Leptophryne cruentata) merupakan salah satu spesies amfibi paling langka di dunia yang hanya ditemukan di Pulau Jawa.

Spesies yang dijuluki “bleeding toad” ini memiliki penampilan unik dengan warna kulit merah darah atau merah kecokelatan yang kontras dengan bercak-bercak hitam di sekujur tubuhnya.

gambar

Ukurannya relatif kecil, hanya mencapai 3-4 cm saat dewasa, dengan mata menonjol yang memiliki pupil horizontal sebagai adaptasi terhadap habitatnya yang lembap dan minim cahaya.

Kulitnya yang halus dengan pola unik berfungsi sebagai kamuflase di antara bebatuan dan dedaunan di habitat alaminya. Warna merah yang mencolok ini diduga berfungsi sebagai peringatan bagi predator bahwa kodok ini mengandung racun, meskipun penelitian lebih lanjut masih diperlukan untuk memastikan hal tersebut.

Spesies ini pertama kali dideskripsikan secara ilmiah pada tahun 1853 oleh naturalis Jerman, Salomon Müller.

Habitat dan Ancaman Kelestarian

Kodok merah memiliki persebaran yang sangat terbatas, hanya ditemukan di beberapa lokasi di pegunungan Jawa Barat, terutama di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Gunung Halimun-Salak, dan beberapa daerah terisolasi lainnya.

Habitat utamanya adalah daerah aliran sungai berbatu dengan air jernih dan kadar oksigen tinggi di ketinggian 800-2.000 meter di atas permukaan laut.

Spesies ini sangat bergantung pada kondisi lingkungan yang stabil dan sensitif terhadap perubahan. Ancaman utama terhadap kelestariannya meliputi perusakan habitat akibat pembalakan liar dan alih fungsi lahan, perubahan iklim yang mempengaruhi suhu dan kelembaban, polusi air dari aktivitas pertanian, serta penyakit jamur chytridiomycosis yang telah menyebabkan penurunan populasi amfibi di seluruh dunia.

Populasi kodok merah di alam liar diperkirakan telah menyusut lebih dari 80% dalam tiga generasi terakhir.

Baca juga Sering Dianggap Sama, Inilah 7 Perbedaan Katak dan Kodok

Status Perlindungan dan Upaya Konservasi

Kodok merah termasuk dalam daftar merah IUCN dengan status Critically Endangered (Kritis) sejak tahun 2004. Di Indonesia, spesies ini dilindungi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Selain itu, kodok merah juga masuk dalam Appendix II CITES yang mengatur perdagangan internasional spesies langka.

Upaya konservasi ex-situ (di luar habitat alami) telah dilakukan oleh berbagai lembaga, dengan keberhasilan terbaru dicapai oleh Taman Safari Indonesia (TSI) Cisarua, Bogor.

Pada tahun 2023, TSI berhasil mengembangbiakkan dan menetaskan empat ekor kodok merah untuk pertama kalinya di luar habitat alaminya. Direktur TSI, Jansen Manansang, menyebut pencapaian ini sebagai prestasi luar biasa dalam penyelamatan permata alam langka Indonesia.

Keberhasilan Penangkaran di Taman Safari Bogor

Proses penangkaran kodok merah di TSI Bogor melibatkan replikasi habitat alami yang sangat detail, termasuk pengaturan suhu, kelembaban, dan kualitas air yang menyerupai kondisi di pegunungan Jawa Barat.

Tim konservasi berhasil mendokumentasikan seluruh siklus hidup spesies ini, mulai dari perilaku perkawinan yang unik hingga tahapan metamorfosis lengkap.

Yang menarik, kodok jantan mengeluarkan suara khas yang belum pernah terdokumentasikan sebelumnya selama proses perkawinan. Seekor betina dapat menghasilkan 50-150 butir telur dalam sekali bertelur, jumlah yang relatif kecil dibandingkan amfibi lainnya.

Dr. Bongot Huaso Mulia, Vice President Life Science TSI, menjelaskan bahwa dokumentasi lengkap siklus hidup ini memiliki nilai ilmiah yang sangat tinggi dan menjadi referensi penting untuk upaya konservasi.

Baca juga Katak Terkecil di Dunia dengan Gigi Taring d Ditemukan di Sulawesi

Referensi

1. IUCN Red List. (2023). Leptophryne cruentata.

2. Kementerian LHK. (2018). Peraturan Menteri LHK No. P.106.

3. Taman Safari Indonesia. (2023). Laporan Konservasi Kodok Merah.

4. Iskandar, D. T. (1998). The Amphibians of Java and Bali. LIPI Press.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *