
Banyuwangi punya banyak cerita, dan Hasnan Singodimayan adalah salah satu orang yang berhasil mengabadikannya lewat tulisan. Lahir pada 17 Oktober 1931, tokoh lulusan Pondok Pesantren Gontor ini menghabiskan hidupnya untuk melestarikan budaya Osing melalui karya sastra, siaran radio, dan pergerakan budaya.
Awal perjalanan Hasnan dimulai dari kecintaannya pada dunia literasi. Sejak kecil ia sangat gemar membaca. Ia sempat bekerja sebagai penyuluh perikanan. Akan tetapi, jiwa seninya tak pernah padam.
Pada tahun 1955 menjadi titik balik ketika tulisannya pertama kali dimuat di majalah Waktu. Sejak saat itu, ia terus menulis tanpa henti, menjadikan budaya Osing sebagai inspirasi utama karyanya.
Kembali Mengingat Apai Janggut: Penjaga Hutan Adat dari Kalimantan Barat yang Dapat Penghargaan Dunia
Karya-Karya Fenomenal
Karya-karya Hasnan bukan sekadar cerita biasa. Ia lebih banyak mengangkat topik-topik budaya dalam karyanya. Misalnya, buku Selubung Santet Gandrung (2003) yang mengungkap sisi kehidupan penari gandrung.
Dalam pandangan masyarakat awam, para penari Gandrung dinilai jauh dari agama. Tariannya yang kerap dianggap memuat unsur erotisme, menjadi faktor utama labelisasi yang dilekatkan kepada para penari Gandrung.
Hasnan kemudian menolak wacana tersebut lewat karyanya, yang menuturkan bahwa penari Gandrung layaknya para penari Shang Hyang Widari yang berhati bersih. Shang Hyang Widari merupakan salah satu bentuk teater tradisional di Bali yang disuguhkan dalam bentuk tarian yang bersifat religius.
Nenek Renia, Satu dari Sekian Penutur Sastra Lisan “Korehan” yang Masih Setia
Masih mengambil subjek pelaku tari Gandrung, Hasnan lantas kembali menerbitkan Novel Suluk Mu’tazilah (2011). Novel ini berhasil menggambarkan pergulatan seorang penari gandrung dalam mempertahankan nilai-nilai Islam.
Selai itu, cerita Jejak Sinden (1984) bahkan diadaptasi menjadi sinetron. Hal ini membuktikan bahwa cerita berlatar budaya lokal pun bisa menarik perhatian khalayak luas. Lewat Badai Selat Bali (1984) yang dimuat di harian Terbit, ia berhasil membawa nama Banyuwangi ke ranah nasional.
Tidak hanya melalui tulisan, Hasnan juga aktif di dunia siaran radio. Setiap pekan, suaranya mengudara di RKPD Banyuwangi membawakan sandiwara berbahasa Osing. Ia paham betul bahwa radio adalah media efektif untuk menjangkau masyarakat luas.
Selain itu, keterlibatannya di Dewan Kesenian Blambangan dan pendirian Hasnan Singodimayan Centre menunjukkan komitmennya yang tak setengah-setengah dalam melestarikan budaya.
Sedikit Mengenal Sastra Lisan Suku Tetun yang Masih Eksis Hingga Saat Ini
Penghargaan dan Pengakuan
Hasnan merupakan sastrawan dan budayawan yang sangat aktif. Ia tercatat pernah dipercaya menjadi Ketua Himpunan Seni Budaya Islam (HSBI) tahun 1960—1965; anggota Dewan Kesenian Blambangan pada seksi Sastra dan Seni Islam (1980—1995); penasehat DKB (1995— 2001); dan menjadi koordinator Badan Koordinasi Kesenian dan Kepariwisataan Banyuwangi (BK3B) (1985—2022).
Selain itu, Hasnan juga menorehkan beragam prestasi dan penghargaan, beberapa di antaranya:
- Maestro Seni Tradisi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) yang ditandatangani Menteri Muhadjir Effendy (2017),
- Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia Kategori Pencipta Pelopor & Pembaru Berbasis Budaya Lokal (2017)
- Penghargaan Budayawan Produktif (2014),
- Penghargaan dari Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sebagai Budayawan Banyuwangi (2001),
- Juara Lomba Puisi BBC London (1980),
- Juara III Cerpen Dewan Kesenian Surabaya tahun 1973 dengan judul “Lailatul Qadar”, dan masih banyak lagi.
Salim Said, Tokoh Pers yang Geluti Banyak Bidang: dari Sastra hingga Militer
Warisan yang Ditinggalkan
Di usia senjanya, Hasnan tetap produktif berkarya. Tahun 2014, ia mendapat penghargaan dari pemerintah daerah sebagai budayawan produktif. Ini menjadi bukti bahwa semangatnya tak pernah luntur oleh waktu. Bahkan, saat kesehatan mulai menurun, seperti dikenang Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani, Hasnan masih bersemangat bercerita tentang mimpi-mimpinya untuk memajukan budaya Banyuwangi.
Hasnan meninggal pada 13 September 2022 di usia 92 tahun. Kepergiannya menjadi duka bagi dunia budaya Banyuwangi. Namun, warisannya tetap hidup melalui karya-karya yang ditinggalkan. Hingga kini, tulisannya masih menjadi rujukan penting bagi siapa saja yang ingin mempelajari budaya Osing.
Pengetahuannya yang luas membuat Hasnan Singodimayan dijuluki ”sumur tanpa dasar.”
Terapi Kesehatan Mental Berbasis Budaya, Kolaborasi Ilmu Psikologi dan Antropologi dari Prof. Subandi
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News