
Bagaimana seharusnya kita melihat optimisme di ruang publik yang semakin riuh dengan pro dan kontra? Di keseharian yang begitu mudah segala hal terpolar, terbelah, vis a vis? Di tengah tatanan yang kian tidak pasti dan dinamika yang cepat?
Apakah mereka yang optimis selalu berarti melihat lurus ke depan, berjalan dengan langkah tegap maju, hanya mau mendengar kalimat-kalimat motivasi, dan membenci data yang melemahkan?
Dan apakah mereka yang bukan seperti itu sudah pasti golongan pesimis dan lebih baik diam saja daripada mengganggu fokus optimisme masyarakat?
Sebenarnya, kalau ini jadi perdebatan, jatuhnya perdebatan yang tidak produktif. Tapi sayang, di linimasa sehari-hari kita sering melihat tarik-menarik antara narasi positif dan suara kritis ini.
Kritik terhadap kebijakan publik, misalnya, dengan cepat bisa dilabeli sebagai sikap negatif, pesimis, dan tidak mendukung kemajuan. Sebaliknya, mereka yang hanya menyampaikan sisi baik sering dituduh menutup mata terhadap persoalan riil yang dihadapi masyarakat.
Fenomena ini menandai adanya polarisasi dalam memahami apa itu optimisme. Di satu sisi, ada dorongan untuk “tetap positif” sebagai respons terhadap berita buruk yang membanjiri ruang informasi. Di sisi lain, suara kritis yang berangkat dari kepedulian justru sering dianggap merusak suasana atau “tidak sejalan dengan semangat kemajuan.”
Optimisme seharusnya bukan berarti menolak keberadaan masalah, melainkan tentang menyadari bahwa masalah adalah panggilan untuk bertindak. Ia bukan pelarian dari kenyataan, melainkan keberanian untuk menghampiri dan menghadapinya.
Sayangnya, dalam banyak narasi populer, optimisme sering direduksi menjadi sikap positif absolut: bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja selama kita hanya fokus pada hal-hal positif, tidak membicarakan hal-hal yang negatif.
Pandangan ini sesungguhnya justru membatasi ruang berpikir dan memperlemah upaya perubahan.
Kita sering mendengar kalimat-kalimat penghibur seperti, “Tenang saja, semua negara juga sedang krisis,” atau, “Ekonomi gelap? Itu cuma perasaan negatif.” Kalimat semacam ini, alih-alih membangun ketangguhan, justru meninabobokan kewaspadaan dan menghalangi lahirnya respons yang kritis terhadap situasi.
Optimisme yang manipulatif menutup ruang untuk menyelidiki akar masalah, membuat seolah-olah masalah bisa selesai hanya dengan keyakinan. Padahal, keberanian untuk menghadapi kenyataan—bukan menghindarinya—adalah kunci untuk menumbuhkan optimisme yang sehat dan transformatif.
Dalam konteks nyata, misalnya saat kita menghadapi tanda-tanda perlambatan ekonomi—dengan pertumbuhan yang melambat, daya beli masyarakat turun, tekanan inflasi yang belum sepenuhnya reda, dan berita PHK di mana-mana—optimisme kritis bukan berarti berkata, “Semua baik-baik saja.”
Justru pengakuan atas tantangan inilah yang menjadi dasar untuk membangun harapan rasional: bahwa masa sulit ini adalah momentum untuk mempercepat diversifikasi ekonomi, memperkuat sektor riil, dan mendorong inovasi baru. Data menunjukkan sektor pertanian berkelanjutan, ekspor produk kreatif, dan pariwisata domestik mulai menunjukkan tren pertumbuhan yang resilien.
Optimisme kritis bekerja dengan menyadari realitas keras, namun tetap menyoroti peluang untuk berbenah dan bergerak ke arah yang lebih kokoh.
Posisi GNFI
Lalu, bagaimana dengan Good News From Indonesia (GNFI)? Apa sebenarnya “ideologi”-nya? Bagaimana GNFI memaknai optimisme dalam pemberitaannya?
Dalam berbagai kesempatan, kami kerap menyampaikan bahwa optimisme yang menjadi narasi utama GNFI bukan tentang membaik-baikkan keadaan yang sebenarnya masih atau sedang tidak baik. Kami justru berpijak pada keyakinan bahwa masalah itu nyata, tapi solusi juga tak kalah nyata.
Kami mengangkat kisah-kisah individu, komunitas, institusi/instansi, organisasi, korporasi, hingga inisiatif-inisiatif yang bekerja langsung menghadapi tantangan di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kami menceritakan mereka yang melihat masalah—bahkan hidup di dalamnya—tapi tidak berhenti dengan gerutuan, keluhan, dan unggahan di media sosial saja. Mereka yang memilih berpikir, bergerak, dan beraksi melakukan upaya penyelesaian dengan apa pun yang mereka mampu lakukan.
Kami sangat ingin optimisme bukan menjadi ilusi kenyamanan, melainkan semangat aksi. Karena kami percaya, harapan yang paling kuat lahir dari keberanian melihat kekurangan, lalu memilih untuk tidak diam.
Dalam kerangka ini, critical thinking menjadi fondasi untuk mempertahankan optimisme yang sehat.
Studi OECD (2019) menunjukkan bahwa critical thinking adalah proses aktif untuk mempertanyakan, mengevaluasi, dan memahami berbagai perspektif sebelum mengambil keputusan.
Critical thinking bukan sekadar mencari jawaban cepat, melainkan melibatkan keberanian untuk mengakui keterbatasan asumsi, mempertimbangkan kemungkinan alternatif, dan refleksi mendalam atas posisi yang diambil.
Dengan menggabungkan proses inkuiri (penyelidikan mendalam untuk memahami akar persoalan), imajinasi, aksi, dan refleksi, critical thinking membantu seseorang membangun pandangan yang lebih komprehensif dan sadar atas kompleksitas masalah yang dihadapi.
Selain keterampilan berpikir itu sendiri, critical thinking juga membutuhkan sikap mental tertentu. Ia tidak hanya soal kemampuan logis atau analitis, melainkan juga mensyaratkan adanya disposisi, yaitu kecenderungan untuk mendukung pola pikir terbuka. Ini meliputi keterbukaan terhadap ide-ide baru, rasa ingin tahu yang tinggi, kesediaan untuk menunda pengambilan kesimpulan, serta komitmen kuat untuk mencari kebenaran.
Tanpa disposisi ini, seseorang mungkin mampu berpikir logis, tetapi tetap terjebak dalam bias atau ketidakmauan untuk melihat kenyataan secara lengkap. Oleh karena itu, optimisme kritis hanya dapat tumbuh bila didukung oleh kerendahan hati dan kesadaran bahwa setiap pandangan harus selalu diuji dan dipertimbangkan ulang.
Pada akhirnya, optimisme yang jernih dan berbasis kesadaran penuh bukan sekadar pilihan moral baik atau buruk, benar atau salah, melainkan kebutuhan strategis dalam menghadapi dunia yang terus berubah.
Ia menuntut keberanian untuk mengakui ketidaksempurnaan, kecerdasan untuk merancang jalan keluar, dan keteguhan untuk bergerak melampaui kenyamanan semu. Di dalam dialektika antara kritik dan harapan inilah, masa depan bersama dibentuk.
Optimisme yang berkualitas. Itulah yang kita perlukan.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News