Posted on Leave a comment

KUBET – Tarif AS-Tiongkok Turun, Ini Dampaknya Bagi Indonesia dan Dunia Menurut Pakar HI UMM

Tarif AS-Tiongkok Turun, Ini Dampaknya Bagi Indonesia dan Dunia Menurut Pakar HI UMM

images info

Perang dagang antara Amerika Serikat-Tiongkok sempat membuat dunia bergetar. Namun, keduanya kini sepakat untuk menurunkan tarif satu sama lain setelah perundingan yang dilakukan oleh perwakilan kedua negara di Swiss, 9-12 Mei 2025.

Melalui rilis resmi Gedung Putih pada 12 Mei 2025, disebut bahwa pertemuan itu merupakan negosiasi yang berhasil, di mana kedua pihak resmi menurunkan tarif yang akan berlaku selama 90 hari per 14 Mei 2025.

“Dalam mencapai kesepakatan, Amerika Serikat dan China akan menurunkan tarif masing-masing sebesar 115% sambil mempertahankan tarif tambahan sebesar 10%. Langkah-langkah AS lainnya akan tetap berlaku,” bunyi rilis tersebut.

Dengan demikian, tarif Amerika Serikat terhadap impor Tiongkok yang awalnya sebesar 145 persen turun menjadi 30 persen. Sementara itu, bea masuk Tiongkok pada produk Amerika Serikat akan turun menjadi 10 persen dari 125 persen.

Lalu, apakah turunnya tarif Amerika Serikat dan Tiongkok benar-benar menjadi kabar baik bagi dunia, termasuk Indonesia?

Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana, M.A., menjelaskan bahwa turunnya tarif perdagangan Amerika Serikat dan Tiongkok adalah kabar baik bagi dunia. “Gencatan” tarif selama 90 hari antara dua negara ini menandakan adanya ruang dialog dalam konflik dagang yang selama ini menciptakan ketidakpastian global.

Saat dua raksasa ekonomi bersitegang, dampaknya tidak hanya dirasakan secara bilateral, tetapi juga menekan arus perdagangan internasional, investasi global, dan stabilitas pasar finansial. Adim menyebut, gencatan tarif ini memberikan angin segar bagi pelaku usaha global karena mengurangi risiko volatilitas pasar dan memberi waktu perusahaan untuk merencanakan ulang rantai pasok mereka.

Di sektor komoditas, stabilitas harga juga menjadi lebih terjaga, utamanya bagi negara-negara berkembang. Namun, ia mengingatkan bahwa penurunan tarif ini hanya bersifat sementara dan bersyarat.

“Perlu diingat bahwa gencatan ini bersifat sementara dan masih bersyarat. Artinya, jika tidak disertai komitmen jangka panjang untuk menyelesaikan isu struktural, maka ketegangan dapat kembali memanas,” terangnya kepada GNFI.

Baca juga: Menelisik Dampak Kebijakan Tarif Trump untuk Dunia, Apa yang Harus Dilakukan Indonesia?

Dampak Gencatan Tarif AS-Tiongkok: Antara Peluang dan Ancaman

Ilustrasi pertemuan bilateral antara perwakilan Amerika Serikat dan Tiongkok | US Embassy and Consulates in China

info gambar

Indonesia disebut Adim memiliki peluang sekaligus tantangan yang harus diwaspadai. Menurutnya, Indonesia memiliki peluang yang cukup baik terkait stabilisasi pasar ekspor-impor, di mana penurunan tensi dagang dapat mengurangi tekanan terhadap harga komoditas ekspor utama Indonesia, seperti karet, sawit, dan batu bara.

Dosen dengan kepakaran politik global ini juga menjelaskan jika rantai pasok global dapat berangsur pulih. Beberapa sektor industri dalam negeri yang sempat terdampak disrupsi rantai pasok, seperti elektronik dan otomotif, dapat kembali berjalan dengan efisien.

Di sisi lain, terdapat tantangan yang harus dihadapi Indonesia, yakni persaingan dagang langsung. Apabila tarif Amerika Serikat untuk produk Tiongkok diturunkan, maka produk Tiongkok dapat masuk kembali ke pasar global—termasuk pasar Indonesia—dengan harga yang lebih kompetitif. Hal ini tentu dapat menjadi tantangan bagi industri dalam negeri.

Sektor yang paling terdampak dari penurunan tarif ini adalah manufaktur dan komoditas strategis Indonesia. Industri manufaktur, seperti tekstil, elektronik, dan komponen otomotif berpotensi menghadapi tekanan baru akibat masuknya kembali produk Tiongkok ke pasar global dengan harga yang lebih kompetitif.

Di satu sisi, sektor komoditas andalan, seperti kelapa sawit, batu bara, dan karet turut terdampak oleh pergeseran arus dagang antara dua negara raksasa ini.

“Jika AS dan Tiongkok meningkatkan kembali volume dagang bilateral mereka, permintaan terhadap komoditas dari negara-negara ketiga seperti Indonesia bisa berkurang. Meskipun demikian, ada juga potensi peningkatan aktivitas logistik nasional karena stabilisasi perdagangan global akan meningkatkan volume ekspor-impor dan arus barang di pelabuhan-pelabuhan utama Indonesia,” paparnya.

Baca juga: Geopolitik Akan Berubah Jika Trump dan Moskow Semakin ‘Mesra’, Bagaimana Dampaknya untuk Indonesia?

Posisi Strategis Indonesia

Dalam keterangan yang diberikan, Adim menilai posisi Indonesia sebagai mitra dagang Amerika Serikat dan Tiongkok masih sangat relevan dan strategis di tengah gencatan tarif. Indonesia merupakan pemasok berbagai jenis komoditas primer yang dibutuhkan Tiongkok, seperti batu bara dan nikel.

Indonesia juga mengekspor beberapa produk manufaktur ringan, mulai dari karet, alas kaki, dan pakaian jadi ke Amerika Serikat. Di lain sisi, Indonesia juga merupakan pasar konsumen besar yang tengah tumbuh, sehingga tetap menarik bagi investor kedua negara.

Dalam konteks pasca-pandemi dan ketegangan geopolitik global, banyak perusahaan multinasional kini menerapkan strategi diversifikasi produksi dari Tiongkok ke kawasan Asia Tenggara. Adim menyebut Indonesia bisa menjadi bagian penting dari strategi China+1.

“Namun, untuk benar-benar diperhitungkan dalam lanskap baru ini, Indonesia perlu menunjukkan kapasitas reformasi struktural dan peningkatan daya saing ekonomi secara berkelanjutan,” imbuh Kepala Laboratorium HI UMM itu.

Baca juga: Sudah Lama Kosong, Bagaimana Kriteria Ideal Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat?

Rekomendasi Pakar UMM: Apa yang Harus Dilakukan Selama Masa “Dingin”?

Kesepakatan bersama Amerika Serikat dan Tiongkok untuk menurunkan tarif selama 90 hari menurut Adim harus dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memperkuat fondasi kebijakan perdagangan dan industrinya.

Ia mengemukakan, langkah awal yang dapat diambil ialah dengan mempercepat diplomasi ekonomi dengan dua negara untuk memastikan akses pasar yang tetap terbuka bagi produk-produk Indonesia. Selain itu, pemerintah juga harus aktif mempromosikan Indonesia sebagai lokasi investasi alternatif bagi perusahaan-perusahaan global yang ingin mendiversifikasi produksi mereka dari Tiongkok.

Pemerintah juga perlu segera mengidentifikasi sektor-sektor yang rentan terhadap persaingan. Tidak luput luput, Adim juga merekomendasikan adanya kebijakan protektif yang tetap sejalan dengan komitmen perdagangan internasional.

“Tak kalah penting, pembenahan logistik, percepatan transformasi digital, dan penguatan ekosistem industri harus diprioritaskan agar pelaku usaha nasional dapat lebih siap menghadapi dinamika perdagangan global yang terus berubah,” tutup Adim.

Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *