
Sore itu, langit di atas Danau Sentani memancarkan warna jingga keemasan. Suara tawa riang puluhan anak terdengar dari halaman sebuah sekolah dasar di Kecamatan Sentani, Jayapura.
Di sana, berlangsung aktivitas Rumah Baca yang dilakukan di gedung Sekolah Dasar, yang menjadi tempat belajar bagi puluhan anak sejak tahun 2023.
Dengan semangat, mereka berkumpul, bukan hanya untuk belajar membaca dan berhitung, tetapi juga untuk berbagi cerita dan mendapatkan motivasi.
Saya tiba di lokasi ditemani oleh tim Wahana Visi Indonesia (WVI), lembaga swadaya masyarakat yang turut mendukung pendidikan anak-anak di Papua.
Begitu masuk, suasana hangat langsung terasa. Sekitar 30 anak—mulai dari yang belum sekolah hingga kelas 6 SD—duduk rapi di dalam ruangan. Mereka berasal tidak hanya dari sekolah ini, tetapi juga dari desa-desa sekitar.
Beberapa bahkan harus menempuh perjalanan jauh, berjalan kaki atau menumpang kendaraan warga, hanya untuk bisa belajar di sini.
Belajar dengan Nyanyian dan Cerita
Di depan kelas, Kakak Ida (25), seorang relawan mengajar, dengan semangat mengajak anak-anak menyanyikan lagu rohani dan lagu matematika.
Suaranya lantang, diikuti oleh sorak riuh anak-anak yang antusias.
Bergantian, Mama Vince (33) membacakan cerita “Kancil dan Buaya di Sungai”. Anak-anak menyimak penuh perhatian, sesekali menjawab pertanyaan yang spontan dilemparkan Mama Vince.
“Awalnya, anak-anak ini malu-malu, tetapi sekarang, mereka sudah lebih percaya diri. Mereka berani bercerita maju ke depan kelas,” ujar Kakak Ida kepada GNFI, Sabtu (24/5/2025).
Meskipun mengajar bukan menjadi passion-nya, Kakak Ida mengaku senang belajar dengan anak-anak. Motivasinya terbilang sederhana namun begitu terasa jiwa kemanusiaannya.
“Daripada mereka habiskan waktu main tanpa tujuan, lebih baik belajar di sini.” katanya.
Sosok Inspiratif di Balik Rumah Baca
Mama Ida (45), guru penggerak Rumah Baca ini, telah mengabdi sebagai guru SD selama 12 tahun. Dengan sabar, ia dan guru lainnya mengajar menggunakan modul pembelajaran dari WVI, yang dirancang khusus untuk meningkatkan literasi anak-anak Papua.
“Dulu, hanya ada 20 anak yang mau datang. Sekarang, jumlahnya bisa 40 lebih,” cerita Mama Ida.
Kakak Ida turut menjelaskan bahwa keraguan para orangtua sirna setelah mereka melihat dampak positif adanya rumah baca.
“Awalnya, orang tua ragu. Tapi setelah lihat anak-anak jadi bisa baca dan hitung, mereka malah mendukung,” kata Kakak Ida.
Menariknya, gereja berperan penting di sana. Para guru sekolah minggu turut mengajak orang tua agar mengizinkan anak-anak mereka belajar di Rumah Baca. Dukungan Ketua Jemaat membuat kegiatan ini semakin berkembang.
Baca juga Konten Kreator TikTok Edukatif Dennis Berdayakan Pangan Lokal Papua
Mimpi-mimpi Besar di Pinggir Danau
Usai belajar, anak-anak berlarian ke halaman sekolah untuk bermain balap estafet mengumpulkan bola. Tawa mereka menggema, diiringi pemandangan Danau Sentani yang membentang indah.
Saya sempat berbincang dengan beberapa anak tentang cita-cita mereka. Christ, dengan mata berbinar, berkata, “Sa mau jadi tentara untuk menjaga keamanan negara”. Ada juga yang ingin menjadi polisi, dokter, guru, bahkan pemain sepak bola.
Kakak Ida berharap, suatu hari nanti, anak-anak ini bisa menjadi orang hebat. “Saya berharap anak-anak di Papua bisa menjadi orang yang pintar, menjadi orang yang hebat dan sukses,” katanya.
Sementara Mama Vince berpesan, “Yang penting, mereka tumbuh jadi anak mandiri dan taat pada Tuhan.”
Sore itu, di antara gemericik air Danau Sentani dan tawa anak-anak, saya menyaksikan secercah harapan. Rumah Baca ini bukan sekadar tempat belajar, tapi juga taman impian bagi generasi penerus Papua.
“Di sini, kami tidak hanya mengajar huruf dan angka, tetapi juga memotivasi supaya mereka terus mau belajar,” pungkas Mama Ida.
Dan di balik bukit Sentani, matahari pun tenggelam, meninggalkan jejak semangat yang terus menyala.
Baca juga Yulion Mirin, Siswa dari Papua yang Sisihkan Uang untuk Bantuan Pendidikan Papua
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News