
Di tengah gegap gempita pembangunan kota dan derasnya arus wisata mainstream, Gang-gangan hadir sebagai gerakan yang justru merayakan ruang-ruang kecil di balik hiruk-pikuk, yakni gang-gang kampung kota.
Bukan gedung pencakar langit atau pusat perbelanjaan megah yang menarik perhatian mereka. Bukan pula wisata yang ramai di media sosial. Justru, lorong-lorong kota yang sering luput dari peta dan pandangan menjadi ruang yang paling mereka rayakan.
Gang-gangan adalah gerakan yang lahir dari rasa ingin tahu dan kepedulian terhadap ruang-ruang kecil kota.
Lewat aktivitas jalan kaki santai, kelompok ini membuktikan bahwa gang bukan sekadar jalur sempit, melainkan ruang hidup yang kaya cerita dan layak diarsipkan.
Berkunjung ke Gang Stones, Kampung Halaman Pecinta The Rolling Stones di Bandung
Mengenal Gang-gangan
Gang-gangan bermula dari kebiasaan sederhana, berjalan kaki di gang.
Bagi Nisa, Shinta, dan Risna, tiga inisiator awal dari Yogyakarta, jalan kaki bukan hal baru.
Namun pada 2021, mereka memutuskan untuk mendokumentasikan aktivitas tersebut lewat akun Instagram, menggantikan ruang sementara seperti IG Story yang cepat hilang.
“Gang-gangan sebenarnya bukan komunitas. Ini lebih ke aktivitas yang kami beri nama, karena sebelumnya kami hanya jalan dan menyimpan dokumentasinya seadanya,” ujar tim Gang-gangan.
Seiring waktu, Jasson dari Jakarta dan Radea dari Malang bergabung, memperkaya sudut pandang kelompok yang kini beranggotakan lima orang dengan latar belakang pendidikan dan pekerjaan yang beragam.
Meski berasal dari kota berbeda, mereka disatukan oleh kepedulian terhadap perubahan ruang, khususnya kampung kota. Berawal dari Yogyakarta, kini mereka sudah menyusuri gang-gang Solo, Wonosobo, Jakarta, dan Surabaya.
Mencicipi Kuliner Tersembunyi di Gang-gang Jatinegara
Ruang yang Dekat Namun Sering Luput dari Perhatian
Alih-alih destinasi wisata populer, Gang-gangan justru memilih gang sebagai titik eksplorasi. Alasannya sederhana namun kuat. Gang adalah ruang sehari-hari yang akrab namun sering luput dari perhatian.
“Gang itu dekat dengan kami, tempat kami tumbuh dan hidup. Ia tenang tapi penuh kejutan, baik atau buruk,” kata mereka.
Gang-gangan melihat gang sebagai representasi ruang hidup masyarakat urban yang terus mengalami tekanan dari gentrifikasi, komersialisasi, hingga modernisasi yang seragam.
Susur gang yang dilakukan oleh Gang-gangan tidak sama seperti walking tour konvensional. Tidak ada rute baku, tidak ada pemandu tunggal. Melalui jalan kaki, mereka mencoba merekam dinamika ruang ini dari dekat dan secara intim.
Gang Poppies Bali, Romantisme Lagu Slank hingga Tersohor ke Seluruh Dunia
Berjalan dengan Etika, Mencatat dengan Rasa
Gang-gangan tidak hanya berjalan, mereka juga mencatat.
Sebelum perjalanan dimulai, mereka biasanya melakukan survei lokasi dan membatasi jumlah peserta antara 5 hingga 10 orang untuk menjaga kenyamanan dan keamanan. Pemilihan jalur ditentukan secara spontan saat berjalan.
Uniknya, sistem pendaftaran pun bersifat kuratif. Peserta harus menjawab beberapa pertanyaan, biasanya berkaitan dengan potensi diskusi tentang kampung yang akan dijelajahi. Pendekatan ini membuat aktivitas jalan kaki menjadi lebih reflektif dan kontekstual.
Gang-gangan juga selalu berusaha agar aktivitas mereka tidak mengganggu warga. Sebelum susur gang berlangsung, tim terlebih dahulu melakukan survei untuk memahami kondisi kampung dan menyesuaikan jumlah peserta agar tetap nyaman bagi semua pihak.
Sebelum berjalan, peserta juga diberi pengarahan singkat soal etika dasar, seperti menjaga suara, menyapa warga, dan menghormati ruang yang dilalui. Selain itu, mereka juga menghindari menjadi penutur utama selama perjalanan.
“Kami sadar posisi kami dari ‘luar’, sehingga rentan bias jika langsung menjadi penutur soal kampung orang. Maka, kami selalu upayakan ada warga lokal yang memimpin cerita. Kami hanya memantik diskusi,” jelas tim Gang-gangan.
Setiap susur gang ditutup dengan diskusi singkat dan pengumpulan catatan peserta, yang kemudian digabungkan dalam bentuk “peta buta kolektif”, semacam peta tanpa referensi visual awal yang dibentuk berdasarkan memori dan kesan peserta.
Cerita Teror Gang Buntu dari Kebayoran Lama, Jejak Kelam Orde Baru?
Harapan di Sepanjang Jalan yang Kecil
Gang-gangan mungkin bermula dari langkah kecil, namun dampaknya menjalar jauh. Mereka tidak hanya mengajak orang berjalan, tapi juga merasakan, merekam, dan memahami ulang kampung mereka sendiri.
Di saat ruang urban makin padat dan homogen, Gang-gangan hadir sebagai pengingat bahwa ruang kecil pun layak didengar dan diabadikan.
Mereka juga ingin agar semakin banyak orang yang mau lebih mengenal kampungnya sendiri dan membantu kami mengarsipkan hal-hal yang dirasa perlu diketahui di masa depan.
Tahun 2024 lalu, mereka mengadakan panggilan terbuka di Instagram untuk mengumpulkan foto dan video gang dari publik. Hasil submisi ini menjadi bagian dari upaya mereka mengarsipkan gang secara kolaboratif, lintas kota, bahkan lintas generasi.
“Harapan kami, apa yang kami arsipkan bisa masuk ke buku IPS SD suatu hari nanti. Kami ingin anak-anak tahu bahwa gang juga punya cerita dan sejarahnya sendiri,” ungkap mereka.
Jika Kawan GNFI ingin lebih mengenal gang di sekitar, mungkin saatnya mencoba berjalan kaki tanpa rute, mendengar cerita warga, dan menciptakan arsip bersama Gang-gangan.
Karena siapa tahu, ruang yang paling sering kita lewati justru menyimpan kisah yang paling layak dikenang, bukan?
Evolusi Gang Dolly Surabaya: Dulu Tempat Esek-esek, Kini Sentra Ekonomi Kreatif
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News