
Di Maluku terdapat sebuah cerita rakyat yang berkisah tentang legenda batu berdaun. Legenda ini menceritakan tentang kekecewaan seorang nenek terhadap kedua cucu yang tidak bisa menjaga amanah yang sudah dia pesankan sebelumnya.
Bagaimana cerita lengkap dari legenda batu berdaun tersebut?
Legenda Batu Berdaun
Dinukil dari buku Irwan Rouf dan Shenia Ananda yang berjudul Rangkuman 100 Cerita Rakyat Indonesia: dari Sabang sampai Merauke, dikisahkan pada zaman dahulu di daerah pesisir Maluku hiduplah seorang nenek dengan kedua orang cucunya. Kedua cucu sang nenek masih berusia belia.
Si sulung baru saja berumur 11 tahun. Sementara sang adik baru memasuki usia yang kelima tahun.
Kedua cucu nenek ini sudah yatim piatu. Oleh sebab itu, mereka berdua tinggal dan hidup bersama sang nenek sehari-harinya.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, sang nenek bekerja dengan mengumpulkan berbagai macam hasil hutan. Selain itu, sang nenek juga sering mencari ikan di pantai yang tidak jauh dari rumahnya.
Meskipun demikian, usaha yang sudah dilakukan sang nenek sebenarnya tidak bisa mencukupi kebutuhan mereka. Akan tetapi sang nenek tetap berusaha agar hasil yang dia dapatkan tetap bisa dikonsumsi bersama-sama.
Pada suatu hari, sang nenek mengajak kedua cucunya untuk pergi menangkap kepiting di pantai. Sesampainya di pantai, sang nenek langsung memasang bubu atau alat yang digunakan untuk menangkap kepiting.
Hari itu mungkin menjadi waktu keberuntungan bagi mereka. Tidak butuh waktu lama, seekor kepiting besar berhasil tertangkap di bubu yang dipasang sang nenek.
Kedua cucunya tentu senang melihat hal tersebut. Sang nenek kemudian menyuruh cucunya untuk pulang dan memasak kepiting tersebut.
Sang nenek berpesan agar mereka meninggalkan capit kepiting untuk dirinya. Sebab sang nenek belum bisa pulang dan mesti melanjutkan aktivitas di hutan.
Kedua cucu sang nenek kemudian pulang dan memasak kepiting tersebut. Mereka kemudian memakan hasil tangkapan tersebut dengan lahapnya.
Setelah makan, mereka kemudian pergi bermain sambil menunggu sang nenek pulang. Menjelang sore hari, sang nenek masih belum juga kembali ke rumah.
Si bungsu sudah mulai mengeluh lapar dan ingin makan sisa kepiting yang disiapkan sebelumnya. Si sulung berkata bahwa capit kepiting tersebut disisakan untuk neneknya.
Namun si bungsu terus merengek dan tidak mendengarkan perkataan kakaknya tersebut. Si sulung yang tidak tega melihat kondisi adiknya langsung memberikan sisa capit kepiting tersebut kepadanya.
Dalam sekejap capit kepiting tersebut habis dilahap oleh si bungsu. Tidak lama kemudian, sang nenek kembali pulang ke rumah.
Sang nenek terlihat pucat dan lesu. Dirinya langsung menuju dapur karena sudah menahan lapar sejak tadi.
Namun sang nenek tidak menemukan sisa makanan untuk dirinya. Si sulung kemudian berkata bahwa makanan yang ada sudah dihabiskan oleh adiknya.
Sang nenek kemudian merasa marah dan kecewa kepada kedua cucunya. Dirinya langsung meninggalkan rumah dan menuju bukit yang tidak jauh dari sana.
Sesampainya di atas bukit, sang nenek menumpahkan rasa kecewanya di depan sebuah batu besar yang berbentuk daun. Dirinya kemudian meminta batu tersebut untuk menelan dirinya.
Tidak lama kemudian, batu berdaun tersebut tiba-tiba terbelah menjadi dua. Sang nenek langsung tertarik masuk ke dalam batu tersebut.
Setelah itu, batu berdaun kembali merapat sedia kala. Tepat setelah batu tersebut tertutup, kedua cucu sang nenek sampai di atas bukit.
Mereka kemudian melihat bekas kain sang nenek yang terurai sedikit di antara batu tersebut. Mereka kemudian menangis dan menyesal atas perbuatan yang sudah dilakukan sebelumnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News