Ambisi Presiden Amerika Serikat untuk menghentikan perang Rusia-Ukraina tampak menggebu. Donald Trump juga terlihat semakin ‘mendekatkan’ dirinya kepada Vladimir Putin.
Keduanya juga sudah berbicara via telepon. Rilis Kremlin pada 12 Februari 2025 lalu menyebut, Trump mendukung penghentian permusuhan dan krisis secara damai. Putin pun menekankan pentingnya menghilangkan ‘akar’ penyebab konflik.
Keduanya sepakat jika penyelesaian berkelanjutan hanya dapat dicapai melalui negosiasi damai. Lalu, apakah alasan yang melatarbelakangi Trump untuk semakin ‘mesra’ ke Moskow?
Dosen Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Hafid Adim Pradana, M.A., menjelaskan alasan di balik mendekatnya Washington ke Moskow. Menurutnya, sejak terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat, Trump telah menunjukkan pendekatan yang lebih kompromistis terhadap Rusia dibanding pendahulunya, Joe Biden.
Setidaknya terdapat dua hal yang mempengaruhi ini. Pertama, bagi Rusia, ekspansi NATO ke Eropa Timur merupakan ancaman oleh Rusia yang memicu respons agresif terhadap Ukraina.
Melihat hal tersebut, Trump bisa jadi memiliki pandangan terkait pentingnya memahami kepentingan keamanan Rusia dan berkompromi dalam isu-isu tertentu. Trump yang dianggap sebagai seorang negosiator ulung pun meyakini bahwa hal ini dapat mengurangi ketegangan dan mencegah eskalasi lebih lanjut.
Kedua, sesuai dengan prinsip America First, Trump cenderung menilai kebijakan luar negeri melalui perspektif keuntungan ekonomi dan politik bagi Amerika Serikat. Alih-alih terus terlibat dalam konflik luar negeri yang bekepanjangan, ia memilih mengalihkan sumber daya yang ada untuk memenuhi kepentingan domestik, seperti pembangunan infrastruktur dan program sosial.
Seperti yang diketahui, Amerika Serikat telah menjadi negara ‘donor’ utama bagi Ukraina selama berkonflik dengan Rusia. Melalui rilis resmi US Department of State pada 12 Maret 2025, Negeri Paman Sam sudah menyediakan US$66,5 miliar bantuan untuk Ukraina sejak invasi Rusia pada 24 Februari 2022.
Trump terkenal lantang untuk mengkritik bagaimana Amerika Serikat menghabiskan miliaran dolar untuk mendanai perang yang tidak menguntungkan rakyatnya secara langsung. Dengan kebijakan luar negerinya yang mengutamakan kepentingan domestik tersebut, Trump seperti melihat bantuan militer itu sebagai ‘beban ekonomi’ yang tidak sebanding dengan kepentingan Amerika Serikat.
“Dengan menekan Ukraina untuk berdamai, Trump dapat menghemat anggaran pertahanan dan mengalokasikan sumber daya untuk kebutuhan dalam negeri,” jelas Adim kepada GNFI saat dimintai keterangan.
Di sisi lain, tekad Trump untuk menghentikan perang juga disebabkan bantuan militer Amerika Serikat dianggap membebani negara federal. Inflasi yang tinggi dan ketidakstabilan keuangan Amerika Serikat disebut Adim membuat Trump lebih ingin mengalihkan fokus kebijakan ekonomi dari perang menuju pemulihan domestik.
Dampak Jika Washington dan Moskow ‘Menghangat’
Apabila hubungan Amerika Serikat dan Rusia semakin menghangat, terdapat beberapa kemungkinan pergeseran geopolitik, baik global maupun regional.
Di tingkat global, salah satu dampak terbesarnya adalah potensi melemahnya NATO. Trump pernah mengkritik NATO sebagai aliansi yang ‘membebani’ Amerika. Ia bahkan mengancam akan menarik diri jika Eropa tidak meningkatkan kontribusi anggaran pertahanan mereka.
“Jika Trump mengurangi keterlibatan AS dalam NATO atau meredakan tekanan terhadap Rusia, negara-negara Eropa Timur seperti Polandia dan negara-negara Baltik mungkin merasa lebih rentan terhadap ancaman Rusia,” sebut dosen sekaligus Kepala Laboratorium HI UMM itu.
Di sisi lain, jika Trump terus menekan perdamaian antara dua negara tersebut, Kyiv mungkin harus menerima kompromi yang merugikan, seperti hilangnya wilayah yang telah diduduki Moskow. Hal ini dapat melemahkan solidaritas Eropa dan memunculkan ketegangan baru, khususnya di NATO.
Sementara itu, di tingkat regional, jika Trump mengurangi tekanan pada Rusia, Putin dapat lebih leluasa memperkuat pengaruhnya di Eropa Timur dan Asia Tengah. Sangat mungkin jika Moskow akan semakin erat dengan Belarus, Khazakhstan, dan negara bekas Uni Soviet untuk mengurangi pengaruh barat di sana.
Kawan GNFI, pakar internasional bahkan menyebut ada permusuhan antara Amerika dengan Eropa, di mana terdapat kemungkinan jika Trump akan mengakhiri aliansinya dengan Eropa.
Menjawab hal itu, Adim menjelaskan bahwa kemungkinan Trump untuk mengakhiri aliansi sepenuhnya dengan sekutu dekatnya ini tampak kecil. Namun, ia bisa saja membuat hubungan AS-Eropa menjadi lebih tegang dibanding era Biden dan para pendahulunya.
“Jika AS benar-benar menarik diri dari NATO atau secara signifikan mengurangi perannya, ini akan melemahkan posisi Eropa dalam menghadapi ancaman dari Rusia dan bisa memicu negara-negara seperti Prancis dan Jerman untuk membentuk aliansi pertahanan independen tanpa AS,” terang Adim.
Selain itu, Trump juga bisa menerapkan kebijakan tarif yang tinggi, seperti pada produk baja dan aluminium. Hal ini akan menyebabkan terjadinya perang dagang yang mengganggu ekonomi dan melemahkan kerja sama transatlantik.
Konsekuensinya, Eropa akan mencari mitra dagang baru, salah satunya dengan Tiongkok untuk mengurangi ketergantungan pada Amerika.
Dampak dan Sikap yang Harus Diambil Indonesia
Adim menjelaskan, apabila pergeseran geopolitik benar terjadi, Indonesia tentu akan kecipratan dampaknya di aspek politik, keamanan, hingga ekonomi.
Di bidang politik, Indonesia berada dalam posisi sulit karena kemungkinan sikap Tiongkok yang semakin agresif untuk memperluas pengaruhnya, termasuk di Laut Tiongkok Selatan. Ini bisa saja terjadi apabila Trump mengurangi perannya di Indo-Pasifik karena fokus pada kompromi Rusia.
Pada lingkup keamanan, jika Trump menarik diri dari NATO dan mengurangi keterlibatan globalnya, Amerika akan lebih selektif dalam memberikan bantuan militer dan penjualan senjata. Hal ini berimbas pada negara-negara yang mendapatkan kerja sama strategis dari Washington.
“Hal ini pada gilirannya akan mendorong Indonesia untuk lebih aktif dalam mencari sumber alutsista dari Eropa atau bahkan Rusia, meskipun bisa menimbulkan konsekuensi seperti potensi sanksi dari AS, misalnya di bawah aturan CAATSA yang melarang pembelian senjata dari Rusia,” jelasnya.
Di sisi lain, jika Trump memberlakukan tarif tinggi bagi negara berkembang, Indonesia harus menjalin hubungan yang lebih erat dengan Uni Eropa. Indonesia dapat mempercepat perjanjian IEU-CEPA dan meningkatkan ekspor ke Eropa.
Adim turut menegaskan bahwa Indonesia perlu memperkuat diplomasi multi-arah, yakni menjaga hubungan baik dengan Amerika, Tiongkok, Rusia, dan Uni Eropa, tanpa terjebak dalam konflik geopolitik global.
Indonesia juga dapat memperluas pasar ekspor dan mempercepat perjanjian perdagangan bebas, khususnya dengan Uni Eropa dan Indo-Pasifik. Tak lupa, Indonesia juga harus memperkuat pertahanan alutsista lewat mitra baru untuk memastikan kebijakan pertahanan tetap netral.
Selain itu, Indonesia juga harus berperan lebih aktif di ASEAN untuk memastikan Asia Tenggara tetap stabil. Dengan demikian, Indonesia dapat menjaga keseimbangan dinamika geopolitik global yang semakin tak pasti.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News